Jakarta, EKOIN.CO – Pemerintah Amerika Serikat secara resmi mulai memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk asal Indonesia per 7 Juli 2025. Kebijakan ini mengikuti pengumuman awal pada April lalu, yang menunjukkan bahwa proses negosiasi selama tiga bulan terakhir belum membawa hasil yang konkret.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Sementara Indonesia belum mencapai titik temu, Vietnam justru berhasil menjadi negara pertama yang menyepakati kerja sama dagang dengan AS. Negeri itu sukses menurunkan tarif dari 46 persen menjadi 20 persen dengan kompensasi berupa pembukaan akses pasar domestik bagi produk-produk asal AS.
Peneliti Ekonomi dari CSIS, Dandy Rafitrandi, mengungkapkan bahwa Vietnam memberi tarif nol persen untuk produk AS senilai 13 miliar dolar AS. Dengan skema tersebut, Washington mendapat keuntungan sekitar 3 miliar dolar AS per tahun dalam bentuk penurunan defisit neraca dagang.
Menurut Dandy, strategi Vietnam bersifat agresif dan langsung menyasar kepentingan jangka panjang AS. Berbeda dengan Indonesia yang hanya mengajukan insentif terbatas tanpa skema timbal balik yang jelas dalam negosiasi perdagangan.
CSIS menyatakan bahwa pendekatan Indonesia saat ini belum cukup kuat dalam membentuk posisi tawar yang menguntungkan. Penawaran yang diberikan masih bersifat jangka pendek, sementara pihak AS menginginkan kepastian ekonomi dalam jangka panjang.
Vietnam capai konsesi, Indonesia stagnan
Dandy menambahkan, model negosiasi Vietnam bisa dijadikan contoh karena pemerintah di Hanoi lebih adaptif terhadap arah kebijakan dagang AS yang proteksionis di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Hal ini berbeda dengan pendekatan Indonesia yang masih terjebak pada proses yang terlalu normatif.
CSIS menilai bahwa Indonesia harus segera menyusun ulang pendekatan diplomatik dan perdagangan luar negeri. Tanpa respons yang tepat, Indonesia berisiko kehilangan posisi strategis di rantai pasok global dan mengalami lonjakan biaya ekspor.
Peneliti CSIS lainnya, Riandy Laksono, menyatakan bahwa Indonesia harus merespons secara strategis, bukan hanya reaktif. Ia menekankan perlunya kerja sama dengan negara-negara lain yang turut terdampak kebijakan proteksionis Trump.
“Indonesia harus menghindari perjanjian yang berat sebelah dan diskriminatif, karena itu bisa membahayakan posisi kita dalam jangka panjang,” tegas Riandy dalam diskusi publik yang diadakan Kamis, 10 Juli 2025.
Ia juga mengingatkan bahwa kerja sama multilateral seperti dalam forum RCEP bisa menjadi solusi jangka menengah yang menguntungkan. Menurutnya, penting bagi Indonesia untuk menjaga prinsip perdagangan terbuka dan non-diskriminatif di tengah tekanan global.
Perluas kerja sama dan optimalkan RCEP
Sebagai langkah konkret, CSIS merekomendasikan agar Indonesia lebih aktif mengoptimalkan peran dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Forum ini melibatkan ASEAN bersama mitra utama seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Dandy mengatakan, bila negara-negara anggota RCEP mampu menahan diri dari tindakan balasan tarif secara reaktif, pertumbuhan ekonomi kawasan ASEAN diperkirakan tetap positif hingga 2 persen. Stabilitas ini penting bagi Indonesia sebagai bagian dari kawasan yang saling terintegrasi.
Sebelumnya, pemerintah telah mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC, dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Misi utamanya adalah membuka kembali ruang negosiasi dengan pemerintah AS terkait kebijakan tarif tersebut.
Namun hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi mengenai hasil perundingan yang dilakukan. Ketidakpastian ini meningkatkan tekanan terhadap pelaku usaha dalam negeri, khususnya eksportir sektor manufaktur dan produk padat karya.
Langkah Vietnam yang lebih dulu mencapai kesepakatan membuat Indonesia berada dalam posisi yang semakin terjepit. Di satu sisi, AS semakin agresif dalam mencari keuntungan dagang, sementara di sisi lain, pasar domestik Indonesia belum siap membuka diri seluas Vietnam.
Pemerintah Indonesia dinilai perlu menyusun strategi diplomasi ekonomi yang lebih progresif. Selain itu, Indonesia juga harus memperkuat posisi tawar dengan menyusun skema imbal balik yang saling menguntungkan, bukan hanya menawarkan konsesi sepihak.
Kondisi ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk tidak terlalu bergantung pada pendekatan bilateral yang lemah tanpa dukungan strategi regional dan multilateral. Menggabungkan kekuatan dengan negara mitra RCEP bisa memperbesar peluang negosiasi yang lebih adil.
Pelaku industri dalam negeri berharap agar pemerintah bisa segera mengambil keputusan yang konkret, baik melalui jalur diplomatik maupun kebijakan fiskal, agar dampak negatif dari kenaikan tarif ini bisa diminimalisir secara langsung.
CSIS juga menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa lagi menunggu hasil negosiasi sepihak dengan AS. Langkah mitigasi dampak, seperti diversifikasi pasar ekspor dan penguatan insentif dalam negeri, harus segera dijalankan tanpa penundaan.
Indonesia harus mempercepat reformasi kebijakan perdagangan, termasuk meningkatkan daya saing produk ekspor dan memperbaiki rantai logistik agar tidak terus tertinggal dari negara-negara pesaing di kawasan Asia Tenggara.
Kerja sama strategis dan taktis dengan negara-negara lain harus menjadi prioritas utama dalam menjawab tantangan tarif yang diberlakukan AS. Tanpa itu, tekanan ekonomi akan terus meningkat dan memperlemah daya saing nasional.
kebijakan tarif yang diberlakukan AS terhadap Indonesia menandakan perlunya pembenahan serius dalam strategi perdagangan luar negeri. Ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan dengan AS menunjukkan bahwa negosiasi saja tidak cukup.
Indonesia harus segera memperkuat posisinya dalam kerangka kerja sama regional, termasuk RCEP, dan tidak hanya bergantung pada jalur bilateral yang belum tentu menghasilkan solusi. Kolaborasi lintas negara menjadi penting agar kepentingan ekonomi nasional tetap terlindungi.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan pendekatan baru yang lebih adaptif terhadap dinamika ekonomi global, serta memperluas pasar ekspor di luar AS untuk mengurangi ketergantungan tunggal yang rawan terhadap kebijakan sepihak.
Industri dalam negeri memerlukan kepastian regulasi dan dukungan kebijakan yang konkret untuk mengantisipasi dampak negatif dari perang dagang. Oleh karena itu, respons pemerintah harus cepat, terukur, dan menyeluruh di berbagai sektor.
Terakhir, keterlibatan aktif sektor swasta dalam perumusan strategi ekspor dan kerja sama dagang akan memperkuat posisi Indonesia secara menyeluruh di pasar internasional. Respons kolektif dan terkoordinasi menjadi kunci untuk menghadapi tekanan global.(*)
