Pertumbuhan Ekonomi 2025 Diperiksa, Banyak Data Janggal

Celios nilai data BPS janggal, tak cerminkan realita. PMI manufaktur turun, tapi industri diklaim tumbuh.

Jakarta, EKOIN.CO – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Semester I tahun 2025 tercatat sebesar 4,99 persen secara tahunan. Capaian ini menandakan perlambatan dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,08 persen.

Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, menyampaikan dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu (6/8/2025), bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 mencapai 5,12 persen. Namun, capaian ini tidak cukup mendongkrak rata-rata pertumbuhan semester, karena pertumbuhan kuartal I-2025 hanya sebesar 4,87 persen.

Edy menjelaskan bahwa angka kumulatif pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan nilai tambah dari dua kuartal pertama tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Metode ini disebut cumulative to cumulative (c to c) dalam penghitungan statistik.

Ia menambahkan, meskipun pertumbuhan kuartal II lebih tinggi dari kuartal I, secara keseluruhan belum cukup untuk mendorong pertumbuhan Semester I menembus angka di atas 5 persen. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kinerja ekonomi pada kuartal I yang menjadi beban akumulatif.

Menurut Edy, nilai tambah dari aktivitas ekonomi selama kuartal I dan II digabungkan dan dibandingkan dengan nilai tambah pada periode yang sama tahun sebelumnya. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi Semester I 2025 sebesar 4,99 persen.

Pertumbuhan Industri Dinilai Janggal oleh Celios

Namun, data yang dirilis oleh BPS ini mendapat sorotan dari kalangan pengamat ekonomi. Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa terdapat sejumlah kejanggalan dalam data tersebut. Ia menyatakan bahwa data BPS tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ekonomi riil.

Dalam wawancaranya dengan KONTAN, Bhima menyebut bahwa salah satu kejanggalan terletak pada data pertumbuhan industri pengolahan. Ia membandingkan data BPS dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang justru menunjukkan tren kontraksi sepanjang kuartal II-2025.

S&P Global mencatat bahwa PMI Manufaktur Indonesia pada April berada di angka 46,7, sedikit meningkat pada Mei menjadi 47,4, dan kembali melemah pada Juni ke angka 46,9. Angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi aktivitas manufaktur.

Sementara itu, BPS melaporkan bahwa industri pengolahan menyumbang kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025, yakni sebesar 18,67 persen, dengan pertumbuhan tahunan 5,68 persen. Angka ini dinilai tidak sinkron dengan data PMI yang menurun.

Bhima mempertanyakan, “Akhir Juni 2025, PMI Manufaktur turun dari 47,4 menjadi 46,9. Jadi penjelasannya apa? Bagaimana mungkin terjadi pemutusan hubungan kerja massal di sektor padat karya, efisiensi industri, dan penghentian produksi di smelter nikel, tetapi pertumbuhan industri malah naik?”

Konsumsi Rumah Tangga Juga Diragukan

Selain data industri, Bhima turut menyoroti data konsumsi rumah tangga. BPS menyebut konsumsi rumah tangga menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran, namun Bhima meragukan validitas klaim ini.

Menurutnya, daya beli masyarakat pada Semester I 2025 masih terbatas akibat tekanan inflasi dan stagnasi pendapatan. Hal ini membuat konsumsi rumah tangga sulit meningkat signifikan sebagaimana diklaim BPS dalam laporan statistiknya.

Bhima menyampaikan kekhawatiran bahwa disparitas antara data BPS dan kondisi riil dapat menyesatkan pengambilan kebijakan ekonomi ke depan. Ia meminta agar metode penghitungan pertumbuhan ekonomi dikaji ulang dengan lebih transparan.

Ia juga menekankan pentingnya sinkronisasi antara data BPS dan indikator lainnya seperti PMI, indeks daya beli, serta data ketenagakerjaan. Tujuannya agar gambaran ekonomi yang disampaikan kepada publik benar-benar akurat.

Dalam hal ini, Bhima menyarankan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam menafsirkan data statistik dan mempertimbangkan masukan dari lembaga independen dan sektor swasta untuk menghindari bias.

perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Semester I 2025 menjadi perhatian penting karena tidak hanya menyangkut performa ekonomi, tetapi juga kredibilitas data yang digunakan untuk pengambilan kebijakan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa penguatan koordinasi antara lembaga statistik dan pemangku kepentingan lainnya diperlukan agar informasi yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan faktual.

Dalam jangka pendek, peningkatan transparansi dalam penyusunan dan publikasi data statistik dapat membangun kepercayaan publik dan investor terhadap perekonomian nasional.

Selain itu, reformasi dalam metodologi penghitungan, validasi silang dengan indikator lapangan, dan pelibatan akademisi dapat memperkuat akurasi data ekonomi yang dirilis resmi.

Pemerintah juga didorong untuk mengevaluasi kebijakan ekonomi berdasarkan dinamika riil, bukan hanya berdasarkan data makro semata, agar pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud.(*)

Exit mobile version