Mengungkap Alasan di Balik Lonjakan Anggaran Subsidi Listrik di Era Pemerintahan Prabowo Subianto

Kebijakan pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto yang menaikkan anggaran subsidi listrik menjadi Rp 104,6 triliun pada tahun 2026 merupakan respons atas peningkatan biaya pokok penyediaan serta kebutuhan untuk memperkuat pasokan listrik di daerah terpencil.

Jakarta, EKOIN.CO – Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto mengambil langkah signifikan dengan mengalokasikan anggaran besar untuk subsidi listrik pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Penyesuaian anggaran ini menjadi perhatian utama mengingat lonjakan alokasi yang mencapai Rp 104,6 triliun, menunjukkan kenaikan sebesar 17% dari perkiraan tahun 2025 yang tercatat sebesar Rp 89,1 triliun.

Alokasi subsidi listrik pada RAPBN 2026 menyerap hampir separuh dari total anggaran subsidi energi, tepatnya 49,7%, dari keseluruhan Rp 210,1 triliun. Kenaikan substansial ini dipicu oleh dua faktor utama: peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik dan peningkatan volume listrik bersubsidi. Peningkatan BPP sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, serta peningkatan penggunaan bahan bakar biomassa untuk co-firing PLTU. Selain itu, kenaikan bauran energi berbasis BBM juga berperan dalam upaya pemerintah meningkatkan keandalan pasokan listrik, terutama di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Terpencil).

Dalam keterangannya, pemerintah menjelaskan arah kebijakan subsidi listrik tahun anggaran 2026. Pertama, subsidi listrik untuk rumah tangga akan diberikan secara lebih tepat sasaran, khusus untuk rumah tangga miskin dan rentan yang datanya terintegrasi dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSKS). Langkah ini akan diiringi dengan penyesuaian tarif (tariff adjustment) bagi pelanggan non-subsidi. “Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya peningkatan ketepatan sasaran agar subsidi diberikan kepada rumah tangga yang berhak,” demikian disampaikan dalam dokumen Nota Keuangan.

Lebih jauh, pemerintah juga berencana mendorong transisi energi yang lebih efisien dan adil. Komitmen ini terlihat dari upaya mengurangi emisi melalui pemanfaatan energi bersih dan ramah lingkungan. Transisi dari energi berbasis fosil menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi agenda utama. Meskipun demikian, pemerintah menekankan bahwa kebijakan ini akan dilakukan dengan penuh kehati-hatian, dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti kondisi sektor ketenagalistrikan dan kemampuan fiskal negara.

Exit mobile version