Konflik di Myanmar Ancam Proyek Infrastruktur India dan China

Konflik bersenjata di Myanmar, khususnya di Negara Bagian Rakhine, menjadi perhatian serius bagi India dan China karena mengancam dua proyek strategis mereka.

Jakarta, EKOIN.CO – Dua kekuatan nuklir di Asia, India dan China, terus memantau dengan cermat perkembangan konflik bersenjata di Myanmar. Hal ini terjadi setelah pasukan pemberontak berhasil merebut beberapa wilayah dari kendali pemerintah. Situasi ini, seperti dikutip dari Al Jazeera, menjadi perhatian utama karena kedua negara tersebut memiliki proyek strategis yang berlokasi di Negara Bagian Rakhine. Saat ini, Tentara Arakan (AA) semakin mendekat untuk menguasai wilayah perbatasan barat yang memiliki nilai strategis tinggi.

Meskipun pemerintah militer Myanmar berhasil merebut kembali wilayah di tempat lain, AA kini menguasai 14 dari 17 kota di Rakhine. Wilayah ini terletak di Teluk Benggala, bagian barat Myanmar, dan berbatasan langsung dengan Bangladesh. Setelah meraih kemenangan telak melawan penguasa militer Myanmar, kelompok bersenjata itu berjanji untuk merebut sisa wilayah Negara Bagian Rakhine, termasuk ibu kota Sittwe, yang menjadi lokasi sejumlah proyek yang didukung oleh India dan China.

Di selatan Sittwe, Kyaukphyu menjadi titik konflik utama yang sangat krusial. Kyaukphyu adalah pusat pesisir yang menghubungkan Myanmar dengan provinsi Yunnan, China, melalui jaringan pipa minyak dan gas serta pelabuhan laut dalam. Pelabuhan ini merupakan bagian penting dari proyek infrastruktur Sabuk dan Jalan Beijing.

Anthony Davis, seorang analis dari publikasi pertahanan Janes yang berbasis di Bangkok, memperkirakan bahwa AA dapat melancarkan serangan saat musim hujan, yaitu antara September dan Oktober. Dengan memanfaatkan langit yang berawan sebagai perlindungan dari serangan udara militer, peluang mereka untuk merebut Kyaukphyu akan meningkat.

Davis juga mengatakan bahwa stok amunisi yang disita AA pada tahun 2024 mungkin akan menipis pada tahun 2026. Di sisi lain, tekanan dari China dapat membatasi pasokan senjata yang digunakan oleh para pejuang kelompok tersebut di Myanmar utara. Oleh karena itu, menurut Davis, mungkin ini adalah waktu yang paling tepat bagi AA untuk menyerang. “Dengan setidaknya 40.000 pejuang setelah program wajib militernya, dan sekarang menjadi tentara etnis terbesar di Myanmar, AA kemungkinan dapat mengerahkan 10.000 tentara untuk menyerang Kyaukphyu,” kata Davis.

Sementara itu, India juga memiliki kepentingan besar di Rakhine melalui proyek transportasi Kaladan, yang bertujuan menghubungkan wilayah timur lautnya ke Teluk Benggala melalui pelabuhan Sittwe. Koridor ini diharapkan dapat memungkinkan India melewati Bangladesh dan menciptakan jalur perdagangan alternatif dengan Myanmar.

Para analis menyebutkan bahwa jika AA berhasil menguasai jaringan pelabuhan, jalan raya, dan sungai, mereka dapat mengenakan pajak atas perdagangan India. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan keuangan kelompok tersebut tetapi juga berpotensi melemahkan hubungan militer antara Myanmar dan New Delhi.

Jika AA berhasil merebut pelabuhan-pelabuhan pesisir di Rakhine, mereka akan mengendalikan gerbang transportasi dan perdagangan yang sangat vital bagi India dan China. Hal ini, menurut Davis, akan menciptakan pengaruh yang tidak dimiliki oleh kelompok bersenjata lain dalam perang saudara Myanmar. “Hal itu dapat mengangkat Pemerintah Revolusioner Rakyat Arakan yang didukung AA sebagai perantara kekuasaan regional,” tambahnya.

Institut Strategi dan Kebijakan Myanmar juga menyatakan bahwa AA tidak hanya beroperasi di Rakhine, tetapi juga telah memimpin aliansi kelompok bersenjata terluas di negara itu. “Tidak ada kelompok bersenjata etnis lain yang telah menjalin jaringan pengaruh yang begitu luas di antara generasi pejuang berikutnya di negara ini,” tulis lembaga tersebut.

Exit mobile version