GUSDURian dan Suara Kebersamaan Indonesia

“GUSDURian adalah salah satu pondasi infrastruktur sosial Indonesia.” “Di tengah pluralitas, kondusifitas bangsa tetap terjaga oleh ormas.”

Sumber dok kemenag.go.id

Jakarta EKOIN.CO – Deru suara otok-otok serentak menggema memenuhi ruangan pada Jumat (29/8/2025). Suara sederhana dari mainan bambu itu seketika menciptakan suasana istimewa. Irama musik tradisional Betawi lalu mengiringi Tari Ondel-Ondel yang ditampilkan dengan kostum penuh warna. Acara tersebut menjadi ruang kebersamaan bagi para pegiat GUSDURian dari berbagai daerah di Indonesia.

Sekjen Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, hadir dan menyampaikan apresiasi. Menurutnya, peran GUSDURian tidak hanya sebatas komunitas, tetapi menjadi pilar yang mengokohkan keberadaan bangsa. “GUSDURian adalah salah satu pondasi infrastruktur sosial Indonesia. Maka dari itu, saya berani menyebut bahwa ini adalah characteristic of future Indonesian muslim,” ungkapnya di tengah tepuk tangan peserta.

Baca juga : Putusan MK Tegaskan Posisi Baznas dalam Zakat

Pernyataan tersebut kembali meneguhkan nilai-nilai Gus Dur yang sejak lama diwariskan. Nilai ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan tradisi disebut sebagai fondasi yang tetap relevan di tengah derasnya arus perubahan zaman.

Kamaruddin menambahkan, GUSDURian terbukti menjaga harmoni bangsa di tengah pluralitas masyarakat. “Di tengah pluralitas dan keberagaman masyarakat Indonesia, kita masih bisa menjaga kondusifitas sosial politik Indonesia yang tentunya dirawat kerukunannya oleh ormas-ormas keagamaan,” tuturnya penuh keyakinan.

Peran GUSDURian dalam Masyarakat

Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, Jay Akhmad, juga berbagi pengalaman dari berbagai daerah. Ia menuturkan kisah tentang gerakan pendidikan inklusif dan advokasi kemanusiaan yang dijalankan komunitas. Menurutnya, semua gerakan itu terinspirasi dari semangat Gus Dur yang membela kaum marjinal.

Berbagai cerita dari peserta menegaskan bahwa GUSDURian bukan sekadar perkumpulan, melainkan gerakan yang menghidupkan nilai kemanusiaan. Dari pendidikan, advokasi sosial, hingga penguatan toleransi, semua diarahkan untuk menghadirkan wajah Indonesia yang inklusif.

Acara temu nasional ini pun menjadi momentum refleksi. Banyak peserta menyebut bahwa kegiatan tersebut adalah ruang perjumpaan, ruang untuk mengingatkan kembali bahwa Indonesia berdiri atas nilai keberagaman dan persaudaraan.

Seperti suara otok-otok yang bergema di awal acara, GUSDURian diibaratkan sebagai suara kebersamaan yang sederhana namun kuat. Suara itu menandai komitmen untuk merawat Indonesia melalui kerja nyata di berbagai sektor masyarakat.

Nilai Gus Dur dalam Konteks Kekinian

Seiring perkembangan zaman, nilai-nilai yang diwariskan Gus Dur tetap relevan. Keadilan, persaudaraan, serta penghormatan terhadap keberagaman menjadi kompas moral yang dibutuhkan bangsa. GUSDURian dianggap berhasil menerjemahkan nilai-nilai tersebut dalam gerakan sosial yang konkret.

Selain itu, semangat kesederhanaan dan kebijaksanaan Gus Dur menjadi inspirasi dalam menghadapi berbagai tantangan sosial. Hal ini juga menjadi pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman.

Para tokoh yang hadir menyampaikan bahwa keberadaan GUSDURian adalah bukti nyata bagaimana gagasan besar dapat terus hidup dalam aksi generasi berikutnya. Dari kota hingga desa, dari komunitas kecil hingga jaringan nasional, semuanya bergerak dalam semangat yang sama.

Peserta acara juga menyampaikan harapan agar gerakan ini terus bertumbuh. Banyak anak muda yang merasa terinspirasi untuk ikut terlibat, baik dalam bidang pendidikan, sosial, maupun kebudayaan.

Nilai persaudaraan yang dijunjung tinggi semakin mempererat solidaritas. Dalam kondisi bangsa yang dinamis, hal ini menjadi penopang penting dalam menjaga stabilitas sosial.

Kamaruddin dalam sambutannya menekankan, kontribusi GUSDURian tidak hanya terbatas pada lingkup keagamaan. Lebih dari itu, mereka turut andil dalam pembangunan kebangsaan yang berlandaskan nilai kemanusiaan.

Suasana hangat dalam acara semakin menegaskan bahwa keberagaman dapat menjadi perekat, bukan pemisah. Tari Ondel-Ondel yang mengiringi jalannya kegiatan seolah memperlihatkan bagaimana budaya lokal dapat berbaur dengan semangat kebangsaan.

GUSDURian pun dipandang sebagai ruang kolaborasi lintas agama, budaya, dan generasi. Hal itu terlihat dari antusiasme peserta yang datang dari berbagai latar belakang.

Dengan demikian, temu nasional ini menegaskan bahwa nilai Gus Dur tetap hidup dalam kerja-kerja sosial. Pesan kebersamaan yang tercipta mengingatkan bahwa menjaga Indonesia adalah tanggung jawab bersama.

Pada akhirnya, suara otok-otok di awal acara menjadi simbol sederhana namun bermakna. Simbol itu mengajarkan bahwa kebersamaan adalah modal utama bangsa.

Acara ini diakhiri dengan doa bersama, menandai harapan agar semangat Gus Dur terus menjadi suluh penerang.

Sebagai saran, penting bagi masyarakat untuk menjaga ruang-ruang dialog yang terbuka. Hal ini akan memperkuat rasa persaudaraan dan memperkaya pemahaman antarwarga.

Selain itu, komunitas GUSDURian diharapkan terus melibatkan generasi muda agar nilai kebersamaan dapat diwariskan secara berkesinambungan. Partisipasi aktif anak muda akan memperluas dampak positif gerakan ini.

Langkah selanjutnya adalah memperluas kerja-kerja sosial hingga menjangkau wilayah-wilayah terpencil. Dengan begitu, nilai kemanusiaan akan semakin terasa di seluruh penjuru negeri.

Pemerintah dan masyarakat perlu menjalin kemitraan dengan komunitas seperti GUSDURian. Kolaborasi akan memperkuat upaya menjaga persatuan di tengah keberagaman.

Kesimpulannya, keberadaan GUSDURian adalah wujud nyata dari nilai kebersamaan yang diwariskan Gus Dur. Suara sederhana itu kini bergema sebagai panggilan untuk terus merawat Indonesia dengan penuh cinta. (*)

Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v

Exit mobile version