Jakarta, EKOIN.CO – Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung (FGB ITB) kembali menggelar Orasi Ilmiah Guru Besar yang diadakan di Aula Barat ITB, Sabtu, 21 Juni 2025. Kegiatan ini dihadiri oleh sivitas akademika dan masyarakat umum.
Salah satu orator dalam kegiatan tersebut adalah Prof. Ir. Ahmad Nuruddin, M.Sc., Ph.D., Guru Besar dari Fakultas Teknologi Industri ITB. Ia menyampaikan orasi ilmiah bertema “Rekayasa Material Semikonduktor Oksida Logam untuk Aplikasi Sensor Lingkungan”.
Dalam pemaparannya, Prof. Ahmad menyoroti pengaruh kemajuan teknologi yang pesat terhadap kualitas hidup manusia. Namun di sisi lain, perkembangan teknologi turut memberi dampak negatif terhadap lingkungan, khususnya pada penurunan kualitas udara.
“Studi menunjukkan bahwa kualitas udara yang buruk berkorelasi dengan peningkatan penyakit pernapasan kardiovaskular. Sehingga organisasi kesehatan dunia atau WHO memperkirakan sekitar 7 juta kematian dini setiap tahunnya dapat dikaitkan dengan polusi udara,” kata Prof. Ahmad Nuruddin di hadapan peserta.
Ia menekankan pentingnya pemantauan konsentrasi gas berbahaya di udara secara terus-menerus. Untuk itu, sistem pemantau gas berbahaya harus dikembangkan, didukung oleh sensor gas yang handal dan efisien.
Dasar Teknologi dan Proses Deteksi Gas
Prof. Ahmad menjelaskan bahwa sensor gas yang digunakan berbasis pada Metal Oxide Semiconductor (MOS). Ini merupakan senyawa anorganik dari logam dan oksigen yang bersifat semikonduktor dan peka terhadap gas.
Sensor berbasis MOS bekerja dengan mendeteksi interaksi antara permukaan sensor dan gas tertentu. Ia mencontohkan deteksi gas H2S oleh material MOS tipe-N yang menyebabkan perubahan resistansi akibat reaksi antara gas dan ion oksigen.
Ketika gas H2S hadir, ia bereaksi dengan ion O2 yang terserap di permukaan sensor. Reaksi ini mengembalikan elektron ke pita konduksi sehingga resistansi turun. Saat gas dihilangkan, proses kembali ke kondisi awal.
“Proses ini bersifat reversibel dan berulang. Itulah yang membuat sensor ini bisa digunakan berulang kali dalam pengukuran lingkungan,” jelasnya.
Prof. Ahmad menyampaikan bahwa efektivitas sensor diukur dari lima kriteria utama: sensitivitas, waktu respons, waktu pulih, selektivitas, dan stabilitas selama pemakaian.
Pengembangan Material Sensor Berbasis ZnO
Di Laboratorium Material Fungsional Maju, tim Prof. Ahmad mengembangkan sensor gas berbasis ZnO (Zinc Oxide). Material ini dipilih karena permukaannya yang kaya vakansi oksigen dan mudah dimodifikasi.
Hasil riset menunjukkan bahwa ZnO hasil sintesis laboratorium memiliki ukuran partikel lebih kecil dibandingkan dengan ZnO komersial. Hal ini berdampak langsung terhadap peningkatan sensitivitas sensor terhadap gas.
Namun, kelemahan ZnO murni adalah membutuhkan suhu tinggi sekitar 350°C untuk bekerja secara optimal. Untuk mengatasi ini, timnya melakukan berbagai inovasi lanjutan.
Salah satunya adalah doping aluminium untuk meningkatkan konduktivitas dan sensitivitas. Selain itu, digunakan pula komposit ZnO dengan MWCNT dan Reduced Graphene Oxide (RGO) agar sensor dapat bekerja di suhu lebih rendah.
Inovasi Teknologi dan Kombinasi Material
Kombinasi ZnO dengan MWCNT terbukti dapat mendeteksi gas SO2 sebanyak 30 ppm dalam waktu hanya 9 detik, dengan waktu pemulihan 10,2 detik pada suhu 150°C.
Gabungan ZnO dengan RGO menghasilkan sensor yang lebih cepat merespons dan dapat beroperasi pada rentang suhu 100–300°C. Sensor ini memberikan sinyal kuat serta respons yang konsisten.
Tim juga mencoba kombinasi WO₂ (Tungsten Trioksida) dan graphene untuk mendeteksi gas CO. Sensor ini mampu beroperasi stabil hingga 5 hari, meskipun waktu responsnya mencapai 270 detik.
“Semua pendekatan ini mengarah pada upaya menurunkan suhu operasi, meningkatkan sensitivitas, dan memperpanjang masa pakai sensor,” terang Prof. Ahmad dalam presentasinya.
Namun, menurutnya, masih banyak tantangan teknis yang harus diatasi dalam proses pengembangan sensor lingkungan ini ke depan.
Tantangan dan Arah Penelitian Selanjutnya
Prof. Ahmad menjelaskan bahwa setidaknya ada empat tantangan utama dalam pengembangan sensor gas. Pertama, rendahnya selektivitas terhadap campuran gas dalam jumlah banyak.
Kedua, suhu operasi yang masih cukup tinggi untuk mendapatkan hasil maksimal. Ketiga, lamanya waktu respons dan waktu pulih yang belum mendukung deteksi cepat.
Keempat, ketidakstabilan sensor dalam jangka waktu panjang yang masih menjadi kendala bagi implementasi luasnya. Semua ini membutuhkan pendekatan multidisiplin dalam riset ke depan.
“Arah pengembangan ke depan akan fokus pada rekayasa struktur nano, modifikasi permukaan, pengembangan heterostruktur dan junction, serta pendekatan green chemistry,” ujarnya.
Dengan berbagai pendekatan ini, Prof. Ahmad berharap dapat menciptakan sensor gas yang lebih ramah lingkungan, efisien, dan siap diproduksi secara luas untuk mendukung pemantauan kualitas udara.
Melalui orasi ilmiahnya, Prof. Ahmad Nuruddin menyoroti urgensi pengembangan sensor gas berbasis Metal Oxide Semiconductor dalam menghadapi tantangan polusi udara. Penelitian yang dilakukannya telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam peningkatan sensitivitas dan efektivitas sensor.
Berbagai inovasi material seperti doping aluminium, integrasi dengan MWCNT, RGO, dan WO₂ menunjukkan potensi besar dalam menurunkan suhu operasi serta mempercepat waktu respons. Namun demikian, sejumlah tantangan teknis masih perlu ditangani melalui riset lanjutan yang lebih mendalam.
Ke depan, penelitian akan diarahkan pada pengembangan teknologi yang hemat energi dan berkelanjutan dengan pendekatan rekayasa nano dan green chemistry. Dengan dukungan riset dan kolaborasi yang kuat, teknologi sensor ini berpotensi menjadi solusi penting dalam menjaga kualitas udara global.(*)










