Jakarta,EKOIN.CO- Sidang dugaan suap ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) kembali digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (17/9/2025). Dalam persidangan itu, Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei, membantah keras tuduhan bahwa dirinya pernah memberikan arahan kepada pengacara Marcella Santoso untuk menyuap hakim sebesar Rp 60 miliar. Ikuti berita terbaru lainnya lewat WA Channel EKOIN di sini.
Menurut Syafei, dirinya sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan Marcella terkait dugaan pengurusan uang suap Rp 20 miliar maupun Rp 60 miliar. “Tidak ada, pak,” jawab Syafei tegas ketika dicecar pertanyaan oleh jaksa.
Bantahan Syafei dalam Sidang Suap CPO
Jaksa kemudian menegaskan bahwa keterangan Syafei perlu dikonfrontir dengan saksi lainnya, termasuk Marcella. “Nanti kita konfrontasi dengan Marcella,” kata jaksa saat sidang berlangsung.
Selain itu, Syafei juga membantah pernyataan pengacara Ariyanto yang mengaku pernah ditelepon seseorang dari Wilmar Singapura. Menurut keterangan Ariyanto, ada komunikasi langsung dengan pihak Wilmar Singapura terkait urusan perkara ekspor CPO.
“Pihak Wilmar Singapura pernah melakukan komunikasi langsung dengan pihak Ariyanto? Untuk pengurusan perkara?” tanya jaksa. Syafei menegaskan tidak mengetahui adanya komunikasi semacam itu dan membantah pernah memberikan nomor telepon Ariyanto kepada pihak Wilmar di Singapura.
Keterlibatan Hakim dalam Kasus Suap CPO
Jaksa lantas membacakan keterangan Marcella yang menyebutkan bahwa nomor telepon Syafei diberikan kepada Ariyanto. Dari nomor Singapura itu kemudian diduga terjadi transaksi terkait penyerahan uang suap Rp 60 miliar.
“Sudah disumpah juga saudara ya?” tanya jaksa untuk memastikan. “Siap,” jawab Syafei singkat.
Dalam kasus ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit. Suap tersebut diberikan untuk memastikan vonis bebas dalam perkara ekspor CPO.
Nama-nama hakim yang disebut menerima suap antara lain eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta dengan Rp 15,7 miliar, panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan dengan Rp 2,4 miliar, serta Ketua Majelis Hakim Djuyamto yang menerima Rp 9,5 miliar. Dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Tiga korporasi sawit yang terkait dalam perkara ini adalah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Dari masing-masing perusahaan, beberapa anak usaha disebut terlibat dalam pusaran perkara suap tersebut.
Majelis hakim pada akhirnya menjatuhkan vonis lepas terhadap ketiga korporasi besar itu. Keputusan ini menimbulkan sorotan publik karena nilai dugaan suap yang sangat besar, khususnya terkait ekspor CPO yang menjadi komoditas strategis nasional.
Sidang dugaan suap ekspor CPO memperlihatkan banyaknya bantahan dari pihak-pihak yang disebut terlibat, termasuk Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei.
Kasus ini menyeret sejumlah nama besar dalam industri sawit dan peradilan, menimbulkan sorotan publik terhadap integritas lembaga hukum.
Jaksa menegaskan perlunya konfrontasi keterangan antar saksi agar duduk perkara bisa semakin jelas.
Besarnya nilai dugaan suap menambah tekanan bagi aparat hukum untuk menuntaskan kasus ini secara transparan.
Publik menunggu tindak lanjut sidang berikutnya, terutama untuk memastikan keadilan dalam kasus ekspor CPO yang melibatkan korporasi raksasa dan pejabat pengadilan. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
