Bareskrim Polri Mengusut Dugaan Korupsi Proyek PLTU di Kalimantan Barat Senilai 800 miliar Rupiah

Audit BPK RI menemukan indikasi kerugian negara hingga Rp323 miliar akibat penyimpangan pengadaan proyek.

JAKARTA, EKOIN.CO –Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri tengah mendalami dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kalimantan Barat yang mangkrak sejak 2016. Berdasarkan hasil penyelidikan, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran prosedur dalam proses pengadaan disebut menjadi akar dari kegagalan proyek senilai lebih dari Rp800 miliar itu.

Dugaan Korupsi dalam Proyek PLTU

Kasus ini bermula dari kerja sama antara PT BRN dan PT PLN melalui skema Kerja Sama Operasi (KSO) untuk membangun PLTU berkapasitas besar di wilayah Kalbar. Kontrak pekerjaan ditandatangani pada 11 Juni 2009 oleh RR selaku Direktur Utama PT BRN dan FM selaku Direktur Utama PLN, dengan nilai mencapai USD 80 juta serta Rp507 miliar. Namun, proyek yang diharapkan dapat meningkatkan pasokan listrik di Kalimantan Barat itu justru tidak pernah rampung.

Kombes Pol Cahyono, juru bicara Bareskrim, mengungkapkan bahwa hasil penyelidikan menunjukkan sejumlah pelanggaran serius dalam proses pengadaan. “KSO BRN tidak memiliki pengalaman membangun PLTU minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan tahun 2007 yang telah diaudit, dan tidak memenuhi syarat laba bersih minimum Rp7,5 miliar,” ujarnya.

Lebih lanjut, Cahyono menegaskan bahwa dokumen Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJKA) juga tidak diserahkan, dan peserta tambahan yang berpengalaman baru dimasukkan belakangan, setelah kontrak utama disepakati. Hal ini dinilai sebagai bentuk penyimpangan prosedural yang memperbesar potensi kerugian negara.

Kerugian Negara dan Aliran Dana Diduga Suap

Menurut laporan hasil pemeriksaan investigatif dari Auditorat Utama Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, ditemukan indikasi kerugian keuangan negara sebesar kurang lebih USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar. Temuan itu memperkuat dugaan adanya praktik korupsi yang melibatkan lebih dari satu pihak, baik dari unsur perusahaan maupun pejabat terkait.

“Penyalahgunaan wewenang sehingga pekerjaan mengalami kegagalan alias mangkrak sejak 2016,” ujar Cahyono menegaskan.
Ia menambahkan, penyidik juga menemukan adanya aliran dana dari KSO BRN melalui PT PI kepada sejumlah pihak yang diduga sebagai bentuk suap dalam pelaksanaan proyek tersebut. Dugaan ini kini sedang diperdalam oleh tim penyidik Bareskrim Polri.

Pada akhir tahun 2009, seluruh pekerjaan diketahui telah dialihkan kepada PT PI dan perusahaan energi asal Tiongkok, QJPSE, tanpa mekanisme yang jelas. Pergantian pihak pelaksana tersebut semakin memperkuat kecurigaan adanya permainan dalam proses pengadaan dan pelaksanaan proyek.

Kasus ini sejatinya sudah mulai diselidiki oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Barat (Polda Kalbar) sejak tahun 2021. Namun, karena kompleksitas dan besarnya potensi kerugian negara, penyidikan kemudian dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.

Kini, penyidik tengah menelusuri lebih jauh pihak-pihak yang diduga menerima aliran dana serta keterlibatan sejumlah pejabat dalam proses penunjukan kontraktor dan pelaksanaan proyek. Polri menegaskan akan menindak tegas semua pihak yang terbukti terlibat.

Bareskrim juga menggandeng BPK RI dan Kementerian ESDM untuk melakukan audit lanjutan guna memastikan nilai kerugian negara secara lebih akurat. Selain itu, penyidik berencana memanggil sejumlah saksi tambahan, termasuk mantan pejabat PLN yang menjabat saat penandatanganan kontrak dilakukan.

Kementerian BUMN disebut telah menyoroti kasus ini karena berdampak langsung pada citra pengelolaan proyek strategis nasional. Beberapa pengamat menilai, kasus ini menjadi pengingat penting agar proyek strategis berbasis energi tidak dikelola secara tertutup dan tanpa pengawasan publik.

Proyek PLTU Kalbar sejatinya dirancang untuk memperkuat jaringan listrik di wilayah barat Indonesia, khususnya Kalimantan Barat yang masih menghadapi defisit energi. Namun, akibat penyimpangan dan lemahnya pengawasan, proyek itu justru berubah menjadi simbol ketidakberesan tata kelola energi nasional.

Pemerintah kini didorong untuk meninjau ulang sistem kerja sama antara BUMN dan pihak swasta agar lebih transparan dan akuntabel. Selain itu, proses lelang di masa depan harus memperhatikan kemampuan teknis dan rekam jejak perusahaan untuk mencegah kasus serupa.

Pada akhirnya, masyarakat berharap penegakan hukum dalam kasus ini benar-benar menuntaskan seluruh mata rantai korupsi, bukan hanya pada pelaksana di lapangan tetapi juga para pengambil keputusan di balik proyek besar tersebut.(*)


Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di:
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v


 

Exit mobile version