Jakarta, EKOIN.CO – Konsumsi buah jeruk, khususnya jeruk bali atau grapefruit, bisa membahayakan kesehatan bila dikombinasikan dengan beberapa jenis obat. Kandungan furanokumarin dalam jeruk bali terbukti mengganggu kinerja enzim CYP3A4 di usus dan hati, yang berfungsi memetabolisme obat dalam tubuh. Akibatnya, tubuh menyerap obat dalam kadar berlebihan atau terlalu rendah, sehingga memicu efek samping serius atau menurunkan efektivitas pengobatan.
Fenomena ini pertama kali dilaporkan secara ilmiah dalam jurnal The Lancet pada 1991. Peneliti mencatat peningkatan konsentrasi obat felodipin dalam darah hingga 4,7 kali lipat setelah pasien mengonsumsi jus grapefruit. Efek ini tidak hanya bersifat sesaat, melainkan dapat bertahan selama tiga hari setelah minuman dikonsumsi.
Jus grapefruit mengandung senyawa alami yang secara langsung menghambat enzim pemecah obat. Bila enzim CYP3A4 tidak bekerja optimal, obat yang masuk ke tubuh tidak bisa diproses sebagaimana mestinya. Kondisi ini membuat kadar obat dalam darah melonjak, sehingga efek toksik muncul lebih cepat.
Salah satu contoh paling dikenal terjadi pada pasien yang mengonsumsi simvastatin. Dalam penelitian, kadar simvastatin bisa meningkat hingga 16 kali lipat bila dikonsumsi bersamaan dengan jus grapefruit. Peningkatan kadar tersebut dapat memicu kerusakan otot, nyeri hebat, dan risiko gagal ginjal.
Selain simvastatin, obat lain yang berpotensi berinteraksi dengan jeruk bali antara lain felodipin, nifedipin, lovastatin, amiodaron, serta beberapa jenis antibiotik dan antidepresan. Interaksi ini sangat bergantung pada dosis dan waktu konsumsi buah.
Interaksi Obat dan Jeruk Bali Bisa Fatal
Dokter dan apoteker menyarankan pasien untuk membaca label obat sebelum mengonsumsi buah jeruk. Dalam banyak kemasan obat, terdapat peringatan untuk tidak mengonsumsi grapefruit atau jusnya selama menjalani terapi. Hal ini untuk mencegah terjadinya peningkatan kadar obat dalam darah yang dapat membahayakan pasien.
Menurut laman Dokterpost, grapefruit dapat memperpanjang efek obat, bahkan setelah 24 jam sejak dikonsumsi. Artinya, sekalipun jus grapefruit diminum pagi hari dan obat diminum malam harinya, efek interaksi tetap bisa terjadi. Oleh karena itu, jeda waktu aman konsumsi antara buah dan obat menjadi penting.
Honestdocs mencatat bahwa furanokumarin dalam grapefruit bekerja mengikat secara permanen dengan enzim CYP3A4. Setelah terikat, tubuh membutuhkan waktu untuk menghasilkan enzim baru. Inilah yang menyebabkan efeknya bertahan lama dalam sistem pencernaan.
Dokter biasanya menyarankan jeda aman 72 jam antara konsumsi jus grapefruit dengan obat yang dimetabolisme melalui jalur CYP3A4. Dalam kondisi terapi jangka panjang, pasien bahkan diminta menghindari sama sekali konsumsi buah tersebut untuk menghindari fluktuasi kadar obat.
Beberapa pasien yang tidak mengetahui risiko ini dilaporkan mengalami efek samping berat. Mulai dari gangguan tekanan darah, kejang otot, gangguan irama jantung, hingga risiko stroke atau gagal ginjal mendadak. Efek tersebut muncul tanpa disadari karena pasien tidak menghubungkan konsumsi buah dengan pengobatannya.
Dokter Sarankan Hindari Buah Berisiko Saat Terapi
Dokter spesialis farmakologi klinis menyarankan pasien selalu jujur saat berkonsultasi, termasuk soal pola makan. Banyak pasien tidak menyadari bahwa buah atau jus tertentu bisa mengganggu kerja obat. Kesadaran ini penting untuk mencegah komplikasi akibat interaksi yang tidak diinginkan.
Menurut ahli dari Dokterpost, buah-buahan lain seperti jeruk manis, lemon, atau jeruk nipis tidak menimbulkan efek serupa karena tidak mengandung furanokumarin. Oleh karena itu, pasien tetap bisa mengonsumsi buah jeruk asalkan bukan jenis jeruk bali.
Interaksi paling sering terjadi pada pasien usia lanjut, yang sering mengonsumsi obat kronis seperti statin, antihipertensi, atau obat jantung. Karena metabolisme mereka cenderung melambat, efek grapefruit menjadi lebih berbahaya dan perlu dihindari sama sekali.
Pasien juga diminta tidak hanya bergantung pada label kemasan, tetapi juga aktif bertanya kepada dokter dan apoteker. Sebab tidak semua obat mencantumkan peringatan interaksi dengan grapefruit, meskipun risiko tersebut ada.
Selain grapefruit, beberapa buah lain seperti delima dan apel juga dapat memengaruhi penyerapan obat. Namun, mekanisme dan tingkat bahayanya berbeda. Grapefruit tetap menjadi buah dengan dampak interaksi obat paling kuat dan berisiko.
Jangan Sepelekan Efek Samping Jeruk Saat Minum Obat
Dalam dunia medis, interaksi grapefruit dengan obat disebut sebagai “grapefruit-drug interaction”. Fenomena ini telah menjadi perhatian global karena banyaknya kasus keracunan obat tanpa sebab jelas, yang ternyata dipicu konsumsi jus grapefruit.
Menurut data WHO, lebih dari 50 obat memiliki risiko interaksi dengan grapefruit. Efeknya bervariasi, mulai dari peningkatan toksisitas hingga menurunnya efektivitas terapi. Beberapa negara bahkan telah mencantumkan peringatan khusus dalam panduan obat nasional.
Para dokter meminta pasien untuk waspada, khususnya bagi yang sedang menjalani terapi menggunakan obat dengan rentang terapi sempit. Obat-obat ini memerlukan kadar darah yang sangat presisi, sehingga sedikit peningkatan pun bisa berbahaya.
Grapefruit bisa memicu efek samping seperti pendarahan, nyeri otot, gangguan detak jantung, sesak napas, atau bahkan kematian mendadak jika dikombinasikan dengan obat yang tidak tepat. Oleh karena itu, dokter menganjurkan pemilihan buah alternatif yang aman selama terapi berlangsung.
Pasien sebaiknya mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi, terutama saat baru mulai terapi obat. Informasi tersebut akan sangat membantu dokter dalam menilai potensi interaksi dan menentukan langkah pencegahan terbaik.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pasien sebaiknya selalu memberi tahu dokter jika mereka mengonsumsi grapefruit secara rutin. Informasi ini penting agar dokter dapat memilih jenis obat yang tidak memiliki interaksi dengan buah tersebut.
Jika Anda terbiasa mengonsumsi jus grapefruit, pastikan ada jeda waktu minimal 72 jam sebelum meminum obat yang diketahui bermetabolisme melalui enzim CYP3A4. Hindari konsumsi berulang tanpa pengawasan medis.
Dokter dan apoteker memiliki peran penting dalam memberikan edukasi kepada pasien tentang interaksi makanan dan obat. Informasi ini harus disampaikan secara aktif dan mudah dimengerti.
Penting bagi masyarakat untuk tidak menyamakan semua jenis jeruk. Jeruk bali berbeda kandungan dan efeknya dibandingkan jeruk manis atau jeruk lokal lainnya.
Dengan pemahaman yang tepat dan sikap waspada, pasien dapat menghindari risiko interaksi obat berbahaya dan menjalani pengobatan dengan aman dan efektif. (*)










