Luksemburg ,EKOIN.CO – Sebanyak 25 dari 27 negara anggota Uni Eropa kini telah meluncurkan program makan gratis untuk anak-anak sekolah. Langkah ini bertujuan untuk memastikan setiap anak mendapatkan nutrisi yang cukup selama masa pendidikan, tanpa memandang latar belakang ekonomi. Penelitian yang dipublikasikan oleh Anne-Catherine Guio dari Luxembourg Institute of Socio-Economic Research (LISER) dalam jurnal Children & Society edisi 2023 menjadi salah satu referensi penting yang mendokumentasikan perkembangan program ini.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Program makan gratis ini diterapkan dengan mekanisme berbeda di masing-masing negara, namun secara umum fokus utamanya adalah pemerataan akses gizi bagi semua anak sekolah. Di Finlandia, semua siswa mulai dari pra-sekolah hingga SMA mendapatkan makan siang gratis setiap hari sekolah. Langkah ini bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dan konsentrasi belajar anak.
Swedia juga menerapkan kebijakan serupa untuk seluruh siswa sekolah dasar dan menengah. Negara ini telah lama mengutamakan kesehatan anak-anak melalui pemberian makan bergizi secara cuma-cuma. Estonia bahkan memperluas cakupan hingga siswa sekolah kejuruan.
Kebijakan Fleksibel di Beberapa Negara
Di Latvia, makan gratis tersedia untuk siswa kelas 1 hingga 4 SD. Namun, beberapa kota memperluas cakupan usia penerima. Lithuania mengutamakan siswa pra-sekolah dan kelas 1 SD untuk mendapatkan makanan gratis. Kedua negara ini menunjukkan fleksibilitas dalam kebijakan makan gratis berdasarkan pertimbangan anggaran dan kebutuhan lokal.
Siprus menerapkan program makan gratis hanya untuk anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah atau dengan kebutuhan khusus, termasuk anak migran tanpa pendamping dan mereka yang berada dalam pengasuhan negara. Di Republik Ceko, program ini menyasar anak usia 3 hingga 15 tahun dari keluarga miskin, fokus pada kelompok yang paling rentan.
Jerman memberikan makan gratis melalui subsidi, khusus bagi anak-anak penerima tunjangan sosial. Hungaria juga menawarkan makan gratis di tingkat SD, tetapi kuota untuk SMA dipangkas 50 persen. Luksemburg memprioritaskan anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah berdasarkan evaluasi Kementerian Sosial.
Pendekatan Selektif dan Percontohan
Program makan gratis di Malta terbatas pada sekolah negeri dan hanya untuk anak dari keluarga berpenghasilan rendah, serta mereka yang mengalami masalah mental atau sosial. Portugal menerapkan kebijakan serupa dengan tambahan untuk penyandang disabilitas.
Di Slowakia, anak SD dan peserta tahun terakhir pra-sekolah dari keluarga tidak mampu mendapat manfaat dari program ini. Slovenia menyasar keluarga miskin sebagai penerima utama. Spanyol menetapkan kriteria berbeda di tiap komunitas otonom, termasuk anak korban kekerasan, terorisme, atau disabilitas.
Austria baru mulai menerapkan program makan gratis untuk anak SD di kota Wina. Belgia melakukan proyek percontohan untuk anak pra-SD di sekolah komunitas berbahasa Prancis, dengan sasaran wilayah paling tertinggal. Bulgaria menjalankan program melalui Palang Merah, fokus pada anak usia 7-18 tahun dari keluarga miskin.
Yunani menyediakan makan siang gratis untuk sebagian SD, mencakup 992 dari 4.449 sekolah di 74 kota. Selain itu, ada program dari sektor swasta yang menyasar sekolah paling rentan. Prancis hanya memberikan makan gratis di 50 dari 35.000 kota, dengan pendanaan bergantung pada kemampuan daerah.
Kroasia menetapkan kriteria berdasarkan status sosial dan sejarah keluarga, termasuk anak dari pembela Perang Dalam Negeri. Irlandia memilih 890 sekolah berdasarkan evaluasi khusus untuk mendapatkan bantuan ini. Sementara di Italia, kebijakan makan gratis diatur secara lokal.
Polandia menetapkan proporsi anak miskin yang boleh menerima bantuan makan di tiap sekolah. Rumania memulai program percontohan makan gratis pada 150 sekolah selama periode 2020-2021. Dengan pendekatan bertahap, negara ini tengah membangun sistem yang lebih permanen.
Secara umum, program makan gratis di Eropa mencerminkan keberpihakan terhadap kesehatan anak-anak dan pemerataan sosial. Kendati mekanismenya beragam, kesamaan tujuan dan nilai kemanusiaan tetap menjadi fondasi utama dari kebijakan ini.
dari penerapan program makan gratis di banyak negara Eropa menunjukkan bahwa akses terhadap makanan bergizi telah menjadi bagian dari strategi pendidikan dan kesehatan anak. Pemerintah-pemerintah tersebut menyadari pentingnya memberikan dukungan nutrisi untuk menciptakan generasi masa depan yang sehat dan produktif. Dari hasil studi Anne-Catherine Guio, terlihat bahwa berbagai model kebijakan bisa diadaptasi sesuai konteks masing-masing negara.
Program ini bukan hanya soal makanan, tetapi juga bentuk jaminan sosial yang konkret bagi keluarga miskin. Melalui pendekatan universal maupun selektif, tujuan akhirnya tetap untuk menjamin kesejahteraan anak-anak sejak dini. Dengan begitu, anak-anak tidak hanya belajar dengan perut kenyang, tetapi juga tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan optimal.
Dari Finlandia hingga Rumania, pendekatan kebijakan makan gratis menunjukkan fleksibilitas dan inovasi. Beberapa negara memilih cakupan luas, lainnya mengutamakan kelompok paling rentan. Kesamaan di antara semua program ini adalah kesadaran akan pentingnya intervensi negara terhadap masalah gizi dan ketimpangan ekonomi.
Langkah negara-negara Eropa ini dapat menjadi rujukan bagi negara lain, termasuk Indonesia, untuk mengevaluasi dan mengembangkan program serupa. Dengan memperhatikan kondisi lokal dan ketersediaan anggaran, kebijakan makan gratis sangat mungkin diimplementasikan secara bertahap. Hal ini dapat menjadi langkah maju dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan anak bangsa.
Perlu adanya studi lanjutan untuk mengevaluasi efektivitas program secara menyeluruh, termasuk dampaknya terhadap prestasi belajar, kesehatan anak, dan kondisi keluarga penerima. Dengan pendekatan berbasis data dan kebutuhan, program ini bisa terus disesuaikan agar manfaatnya semakin maksimal. (*)










