Surabaya EKOIN.CO – Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan kembali menjadi sorotan setelah kembali tersandung masalah hukum. Kasus dugaan penggelapan dividen senilai Rp 89 miliar yang menyeret namanya bersama Nany Wijaya kembali mencuat setelah laporan resmi dari pihak PT Jawa Pos ke Polda Jawa Timur pada 13 September 2024. Dugaan tersebut berkaitan dengan dana yang seharusnya disetorkan oleh PT Dharma Nyata Press (DNP), anak perusahaan Jawa Pos, namun tidak diterima sejak 2017.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kronologi perkara dimulai ketika Dahlan Iskan dan Nany Wijaya diberhentikan dari jajaran direksi PT DNP pada 21 Juni 2017. Sejak saat itu, dividen dari DNP yang sebelumnya rutin disetor ke PT Jawa Pos tidak lagi diterima. Situasi ini memicu dugaan adanya penggelapan dana dalam jabatan serta pemalsuan dokumen.
Dugaan Penggelapan dan Proses Hukum
Kuasa hukum PT Jawa Pos, Tonic Tangkau, menyampaikan bahwa kliennya telah melakukan berbagai upaya damai. Namun, menurutnya, tidak ada titik temu yang dicapai dalam negosiasi antara direksi Jawa Pos dan Dahlan Iskan serta Nany Wijaya. Akibatnya, pihak Jawa Pos menempuh jalur hukum dengan melaporkan dugaan pelanggaran pidana tersebut.
Dalam keterangannya, Tonic mengatakan, “Dividen sebesar Rp 89 miliar ditarik dari PT DNP tanpa pemberitahuan atau izin dari PT Jawa Pos. Ini menjadi dasar kuat kami melaporkan tindakan tersebut ke kepolisian.”
Kasus ini mencuat ke publik setelah dikaitkan dengan konflik kepemilikan antara PT Jawa Pos dan DNP, terutama setelah Nany dan Dahlan disebut menolak mengakui kepemilikan Jawa Pos atas anak perusahaan tersebut. Sengketa tersebut memperumit hubungan korporasi yang sebelumnya berjalan lancar.
Pihak Polda Jawa Timur, sesuai informasi per Juli 2025, menetapkan status Dahlan Iskan dan Nany Wijaya sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun, kuasa hukum Dahlan, Johanes Dipa, membantah kabar tersebut dengan tegas. Ia menyatakan bahwa kliennya belum pernah menerima surat penetapan tersangka secara resmi.
Riwayat Kasus Dahlan Iskan Sebelumnya
Selain perkara dividen DNP, nama Dahlan Iskan telah beberapa kali terseret kasus hukum. Pada 2015, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkannya sebagai tersangka dalam dugaan korupsi proyek pembangunan 21 gardu induk PLN senilai Rp1,063 triliun. Proyek tersebut menggunakan dana APBN 2011–2013.
Dalam perkara pelepasan aset PT Panca Wira Usaha di Jawa Timur, Dahlan juga sempat divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Surabaya. Namun, Mahkamah Agung kemudian menolak upaya kasasi Jaksa Agung, sehingga Dahlan dinyatakan bebas.
Kasus mobil listrik juga sempat menimpa Dahlan pada 2017. Ia dijerat karena pengadaan kendaraan tersebut tidak melalui proses tender sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 54 Tahun 2010. Kasus itu mencuat usai pengusutan terhadap Dasep Ahmad, pelaksana proyek yang ditunjuk langsung.
Meski gugatannya sempat ditolak oleh PN Jakarta Selatan dalam praperadilan, Dahlan berhasil membatalkan status tersangka di perkara gardu induk PLN melalui sidang praperadilan pada 5 Agustus 2015. Hakim menyatakan penetapannya sebagai tersangka tidak sah.
Menurut Tonic Tangkau, konflik dividen saat ini berakar pada struktur kepemilikan saham yang dipermasalahkan oleh pihak Dahlan. Ia menyebut bahwa akta-akta pendukung serta dokumen keuangan menunjukkan jelas keterikatan antara PT Jawa Pos dan DNP.
Di sisi lain, Johanes Dipa tetap bersikukuh bahwa tuduhan terhadap kliennya tidak berdasar. Ia menekankan bahwa persoalan ini seharusnya diselesaikan secara perdata, bukan pidana. “Ini adalah konflik internal bisnis, bukan tindak kriminal,” katanya.
Hingga saat ini, pihak kepolisian masih mendalami laporan yang telah diterima. Belum ada penahanan dilakukan terhadap Dahlan Iskan maupun Nany Wijaya. Penyelidikan lebih lanjut terus berjalan untuk memverifikasi bukti dan dokumen yang telah diserahkan.
Terkait nominal dividen yang diduga digelapkan, Tonic menambahkan bahwa jumlah tersebut telah dihitung berdasarkan audit internal. Menurutnya, pengeluaran dari DNP dalam periode 2017–2023 tidak sesuai dengan pembukuan seharusnya.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan tokoh besar media nasional dan mantan pejabat tinggi negara. Dahlan Iskan, yang dikenal luas lewat perannya di Jawa Pos dan sebagai mantan Dirut PLN serta Menteri BUMN, kembali menjadi headline media nasional.
Pihak Jawa Pos menegaskan bahwa pelaporan ini semata-mata untuk menegakkan hak hukum perusahaan dan tidak didasari niat pribadi. Mereka berharap proses hukum berjalan objektif dan transparan.
Sementara itu, belum ada pernyataan resmi dari Nany Wijaya terkait tuduhan yang ditujukan kepadanya. Media masih berupaya mendapatkan konfirmasi atau tanggapan dari pihaknya.
Kasus ini juga membuka kembali diskursus publik mengenai tata kelola keuangan perusahaan pers di Indonesia, termasuk pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi dividen antar entitas anak dan induk.
Banyak pihak menantikan langkah lanjutan dari kepolisian serta kemungkinan adanya mediasi lanjutan. Namun, hingga pertengahan Juli 2025, belum ada kejelasan apakah proses ini akan berlanjut ke tingkat penuntutan.
Kasus dividen DNP ini masih berkembang. Publik akan menanti bagaimana langkah hukum berikutnya, termasuk klarifikasi status hukum Dahlan Iskan dan potensi penyelesaian damai.
Penyelesaian kasus seperti ini idealnya tidak hanya menitikberatkan pada sisi hukum, tetapi juga membuka ruang dialog untuk menghindari perpecahan berkepanjangan dalam tubuh perusahaan yang pernah berjasa membesarkan media nasional.
Proses hukum yang berlangsung harus tetap menjunjung prinsip keadilan dan asas praduga tak bersalah. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan serta kredibilitas institusi pers yang tengah disorot.
Sebagai pihak yang dilaporkan, Dahlan Iskan tentu memiliki hak untuk melakukan pembelaan secara proporsional melalui kuasa hukumnya. Semua pihak diharapkan menghormati proses hukum yang berjalan dengan menjunjung integritas.
Kasus ini juga menjadi momentum refleksi bagi perusahaan media lainnya dalam menata tata kelola korporasi secara profesional dan mencegah konflik internal berkepanjangan yang bisa berdampak luas.
dari rangkaian persoalan yang menimpa Dahlan Iskan menunjukkan bahwa permasalahan hukum dalam korporasi memerlukan penanganan yang cermat dan terstruktur. Penegakan hukum harus didasarkan pada fakta, bukan asumsi.
Dalam konteks ini, penting untuk membedakan antara kesalahan administratif dan tindakan pidana agar tidak terjadi kriminalisasi dalam konflik bisnis yang seharusnya bisa diselesaikan melalui mekanisme internal.
Ke depan, perusahaan media dan anak usahanya perlu memperkuat sistem pengawasan internal agar tidak terjadi pelanggaran dalam pembagian dividen atau pengelolaan keuangan perusahaan.
Diperlukan pula transparansi dalam komunikasi antar manajemen dan pemegang saham agar semua pihak memahami hak dan kewajibannya secara jelas dan tidak terjadi tumpang tindih kepemilikan.
penyelesaian damai tetap menjadi opsi terbaik jika kedua pihak bersedia duduk bersama dalam itikad baik demi kelangsungan perusahaan dan kepentingan publik yang lebih luas. (*)










