Solo , – EKOIN – CO – Nama Bangkit Sanjaya kembali mencuat ke permukaan. Rocker legendaris kelahiran Solo, 12 Januari 1963, yang dikenal lewat tembang ikonik “Daun-Daun Surga” di era 1980-an ini, kini tak hanya dikenal sebagai musisi, tetapi juga sebagai sosok pelestari budaya dan penggerak masyarakat.
Menghidupkan Kembali Tradisi Malam Satu Suro
Sebagai keturunan bangsawan Keraton Mangkunegaran, Bangkit tampil mengenakan pakaian adat kerajaan dalam peringatan menyambut 1 Muharram 1447 Hijriah atau Malam Satu Suro di Mangkunegaran, Solo, Rabu (26/6). Ia mengikuti ritual Tapa Bisu, berjalan tanpa alas kaki mengelilingi lingkungan keraton sebagai bentuk perenungan dan penghormatan pada warisan leluhur.
“Tradisi itu kita pertahankan. Saya terpanggil untuk ikut terus mempertahankan tradisi itu,” kata Bangkit usai makan siang bersama kerabat keluarga Mangkunegaran, Willy Lesmana Putra, pada Jumat (27/6).
Musik Rock sebagai Medium Nilai
Meski berasal dari latar belakang keluarga kerajaan, Bangkit tetap menekuni musik rock, genre yang membesarkan namanya. Baginya, rock bukan sekadar hiburan, melainkan medium untuk menyampaikan pesan sosial, khususnya kampanye anti-narkoba dan anti-kenakalan remaja.
“Rock itu juga berkesenian. Di situ ada pesan-pesan. Dibutuhkan stamina dan konsistensi,” jelasnya.
Ia meyakini bahwa tiap zaman memiliki karakter dan kebebasan berekspresi yang berbeda. Maka dari itu, seni seharusnya tidak dikungkung oleh batas-batas tradisional semata.
Kolaborasi Tradisi dan Ekspresi Kontemporer
Bangkit menolak pandangan bahwa seni dan tradisi harus berjalan terpisah. Ia justru mendorong kolaborasi lintas genre dan budaya—antara musik keraton, gamelan, dan rock—sebagai bentuk kesetaraan dalam berekspresi.
“Kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berkesenian, itu ya semuanya mempunyai pandangan yang berlainan dalam berkarya,” tegasnya.
Penggerak Koperasi Tambang Legal di NTB
Di luar dunia musik, Bangkit kini memimpin koperasi legal di sektor pertambangan emas di Nusa Tenggara Barat. Ia memastikan bahwa operasional tambang tersebut legal dan memberi manfaat ekonomi nyata bagi masyarakat lokal.
Bangkit juga menaruh perhatian pada generasi muda, khususnya Gen Z yang dinilainya kritis namun rentan terjebak dalam ilusi media sosial. Ia mendorong penguatan keterampilan praktis sebagai jalan untuk kemandirian dan pemberdayaan.
“Generasi sekarang luar biasa gila dalam hal sopan santun dan cara berpikir, tapi mereka juga lebih kritis. Maka yang dibutuhkan adalah arah dan keteladanan,” ujarnya.
Jejak Panjang Seorang Seniman Mandiri
Bangkit mengawali kariernya melalui lagu “Daun‑Daun Surga” (1987) ciptaan Areng Widodo. Ia kemudian merilis sejumlah album seperti Roda‑Roda Gila (1988), Tenggo Berat (1989), dan Hotel Prodeo (1990). Setelah vakum sejak awal 2000-an untuk fokus pada dunia usaha di bidang tambang, properti, sepatu, dan event organizer, ia kembali meramaikan industri musik lewat album kolaboratif Kebersamaan (2018) bersama IKI Indonesia.
Penjaga Warisan, Penggagas Masa Depan
Bangkit Sanjaya merupakan figur unik yang menjembatani dunia tradisi dan ekspresi kontemporer. Dari panggung rock hingga area tambang, dari upacara adat hingga kolaborasi musik lintas genre, ia konsisten membawa misi pelestarian budaya, pemberdayaan sosial, dan pendidikan moral.
Baginya, tradisi leluhur bukanlah beban masa lalu, melainkan fondasi kuat bagi kreativitas masa kini dan masa depan.










