Jakarta EKOIN.CO – Nilai jual kembali sejumlah mobil listrik yang dirilis awal tahun 2024 kini mengalami penurunan tajam hanya dalam kurun waktu satu tahun. Penurunan harga ini mencapai hingga lebih dari 40 persen, menurut data yang dihimpun dari berbagai situs jual beli mobil bekas dan laman resmi merek.
Data diperoleh dari tujuh model mobil listrik populer yang diluncurkan tahun ini di Indonesia. Di antaranya terdapat merek seperti Wuling, BYD, Hyundai, DFSK, Neta, Chery, dan GAC. Data harga baru merujuk pada banderol resmi OTR Jakarta 2024, sedangkan harga bekas dihimpun dari platform Mobil123 dan Carmudi.
Depresiasi Tajam Mobil Listrik Entry-Level
Salah satu model dengan penurunan tertinggi adalah DFSK Seres E1 L-Type, yang pada awal tahun dipasarkan seharga Rp219 juta. Kini, harga rata-ratanya di pasar mobil bekas hanya Rp130 juta. Penurunan ini setara dengan 40,64 persen dari harga awalnya.
Begitu pula dengan Wuling Air EV Standard Range, yang sebelumnya dijual seharga Rp243 juta. Saat ini, unit bekasnya ditawarkan rata-rata seharga Rp145 juta. Angka depresiasinya mencapai 40,33 persen atau turun Rp98 juta dalam setahun.
Sementara itu, mobil listrik Neta V mengalami depresiasi sebesar 36,45 persen. Harga barunya Rp299 juta, namun kini dijual rata-rata Rp190 juta di pasar mobil bekas.
Mobil Premium Tak Luput dari Penurunan
Depresiasi tidak hanya terjadi pada segmen entry-level. Mobil listrik premium seperti Hyundai Ioniq 5 Signature Long Range juga mengalami penurunan signifikan. Dari harga awal Rp816 juta, kini rata-rata dijual Rp565 juta atau turun 30,76 persen.
Meski tak setinggi model lain, beberapa mobil dari merek besar seperti BYD dan GAC tetap mencatat depresiasi. BYD M6 Superior 7 Seater turun dari Rp419 juta menjadi Rp370 juta atau menyusut sekitar 11,7 persen. Sedangkan GAC Aion Y Plus Exclusive mengalami penurunan sebesar 9,55 persen, dari harga awal Rp419 juta menjadi Rp379 juta.
Model Chery J6 AWD mencatat depresiasi terkecil dari daftar ini. Dengan harga awal Rp558 juta, kini ditawarkan seharga Rp520 juta, atau turun sekitar 6,81 persen dalam waktu satu tahun.
Menurut perbandingan data tersebut, rata-rata depresiasi tujuh model mobil listrik yang dianalisis mencapai sekitar 27 persen. Angka ini terbilang tinggi mengingat usia pakai kendaraan baru tersebut baru menginjak satu tahun.
Faktor Penyebab Depresiasi Nilai
Penurunan nilai jual kembali ini dipengaruhi oleh beberapa faktor utama. Salah satunya adalah cepatnya peluncuran model-model baru yang membuat model sebelumnya cepat kehilangan nilai pasar. Selain itu, persepsi konsumen terhadap mobil listrik bekas juga belum sekuat mobil konvensional.
Tidak tersedianya insentif khusus untuk pembelian mobil listrik bekas juga turut memengaruhi rendahnya minat pasar terhadap unit non-baru. Hal ini berdampak langsung terhadap harga jual kembali yang cenderung lebih rendah dibandingkan mobil berbahan bakar bensin.
Dalam konteks global, depresiasi mobil listrik memang relatif tinggi, terutama di pasar-pasar berkembang seperti Indonesia. Perkembangan teknologi yang sangat cepat juga membuat model-model lama cepat terlihat usang, walau belum berumur panjang.
Konsumen yang membeli mobil listrik dengan harapan menjual kembali dalam jangka pendek perlu mempertimbangkan tren ini dengan serius. Jika tidak, kerugian finansial akibat depresiasi bisa cukup besar, seperti yang ditunjukkan oleh penurunan lebih dari Rp250 juta pada model Hyundai.
Dari sisi produsen, tingginya depresiasi ini bisa menjadi sinyal penting dalam merancang strategi penjualan dan layanan purna jual yang lebih menarik, terutama untuk mempertahankan nilai kendaraan di pasar sekunder.
Data depresiasi ini dapat dijadikan acuan penting bagi konsumen yang sedang mempertimbangkan untuk membeli mobil listrik. Nilai penyusutan yang besar dapat memengaruhi total biaya kepemilikan dalam jangka panjang.
Sebagai perbandingan, beberapa model mobil berbahan bakar konvensional hanya mengalami depresiasi sekitar 15 hingga 20 persen di tahun pertama. Hal ini menjadikan mobil listrik sebagai aset yang nilainya turun lebih cepat dalam waktu singkat.
Meski begitu, konsumen masih bisa mendapatkan keuntungan jika mampu membeli mobil listrik bekas dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan harga barunya. Namun demikian, faktor kondisi baterai dan garansi harus menjadi pertimbangan utama dalam pembelian unit bekas.
Melihat penurunan nilai yang signifikan pada mobil listrik hanya dalam waktu satu tahun, konsumen diimbau untuk lebih cermat dalam merencanakan pembelian kendaraan. Pemahaman mengenai depresiasi perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari total cost of ownership.
Produsen otomotif disarankan untuk menyesuaikan strategi pasarnya, seperti memperpanjang masa garansi, menghadirkan pembaruan perangkat lunak, serta memperkuat ekosistem layanan purna jual guna mempertahankan nilai kendaraan.
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan memberikan insentif tidak hanya untuk kendaraan listrik baru, tetapi juga bekas. Hal ini akan membantu memperkuat pasar sekunder dan mendorong peralihan ke kendaraan ramah lingkungan.
Konsumen juga perlu membandingkan penurunan nilai antara mobil listrik dan konvensional sebelum memutuskan membeli. Evaluasi menyeluruh, termasuk estimasi depresiasi, dapat menghindarkan dari kerugian dalam jangka pendek.
Pada akhirnya, meski mobil listrik menjanjikan efisiensi dan emisi rendah, aspek nilai jual kembali tetap menjadi tantangan yang perlu dicermati oleh semua pihak dalam mendukung transisi kendaraan ramah lingkungan di Indonesia.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










