Washington EKOIN.CO – Tiga tokoh publik Amerika Serikat disebut-sebut oleh Donald Trump dalam ancaman pencabutan kewarganegaraan yang memicu perdebatan luas. Presiden ke-45 AS itu dalam beberapa pernyataan publik dan unggahan media sosial menyatakan bahwa Elon Musk, Zohran Mamdani, dan Rosie O’Donnell bisa menjadi sasaran kebijakan denaturalisasi yang kini kembali disorot. Ketiganya merupakan warga negara AS hasil naturalisasi dan dikenal luas dalam bidangnya masing-masing.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ancaman Serius Terhadap Tiga Tokoh Publik
Dalam sesi tanya jawab dengan jurnalis awal bulan ini, Trump secara eksplisit menyatakan bahwa ia akan mempertimbangkan untuk mendeportasi Elon Musk. “Saya tidak tahu, maksud saya, kita harus memeriksanya,” ujarnya saat ditanya soal status pendiri Tesla dan SpaceX itu. Musk sendiri lahir di Pretoria, Afrika Selatan dan menjadi warga negara AS pada tahun 2002.
Pernyataan kontroversial lainnya ditujukan kepada Zohran Mamdani, seorang anggota parlemen negara bagian New York dari Partai Demokrat dan beragama Islam. Trump mengatakan, “Kita harus menangkapnya… kita tidak membutuhkan seorang komunis di negara ini.” Ia menambahkan bahwa banyak pihak mengklaim Mamdani berada di AS secara ilegal dan pihaknya akan menyelidiki hal itu. Padahal tidak ada bukti yang mendukung tuduhan tersebut.
Sementara itu, Rosie O’Donnell juga menjadi sasaran sindiran keras Trump. Dalam unggahan di Truth Social, ia menyebut komedian itu tidak bertindak demi kepentingan terbaik Amerika Serikat. Meskipun O’Donnell lahir di AS, komentar itu ditafsirkan publik sebagai bentuk ancaman terhadap hak kewarganegaraannya.
Peninjauan Kewarganegaraan dan Isu Denaturalisasi
Tiga tokoh yang disebut Trump ini memiliki latar belakang naturalisasi. Mamdani lahir di Uganda dan memperoleh kewarganegaraan AS pada 2018. Sementara Elon Musk menyandang status warga negara sejak dua dekade lalu. Meski demikian, tidak ada indikasi hukum bahwa mereka melanggar proses naturalisasi atau melakukan tindak pidana yang dapat menjadi dasar pencabutan kewarganegaraan.
Konteks dari pernyataan Trump muncul seiring pengumuman pemerintahannya untuk meninjau kembali kebijakan denaturalisasi. Proses hukum ini memungkinkan pencabutan kewarganegaraan jika terbukti ada kecurangan dalam proses perolehan atau pelanggaran hukum berat. Namun, dalam kasus tiga nama tersebut, tidak ada indikasi penyelidikan resmi sedang berlangsung.
Langkah tersebut juga dinilai sebagai bagian dari strategi politik yang mengarah pada penguatan basis pendukung sayap kanan. Melansir dari berbagai laporan media AS, Trump dikenal sering menggunakan retorika imigrasi sebagai alat kampanye sejak pemilu 2016.
Zohran Mamdani sendiri belum memberikan tanggapan langsung terkait komentar Trump. Namun sebelumnya ia dikenal sebagai pengkritik keras kebijakan penegakan imigrasi AS, terutama terhadap komunitas minoritas dan migran.
Menurut catatan biografi Elon Musk, ia menjadi warga negara AS pada 2002 setelah sebelumnya memegang kewarganegaraan Afrika Selatan dan Kanada. Ia juga tidak memiliki catatan pelanggaran hukum yang dapat dijadikan dasar hukum pencabutan kewarganegaraan.
Rosie O’Donnell, yang telah lama menjadi lawan politik Trump, tidak memberikan respons terbuka atas unggahan tersebut. Meski begitu, sejumlah pengamat menilai serangan Trump terhadapnya lebih bersifat pribadi ketimbang legal.
Mekanisme pencabutan kewarganegaraan di AS sendiri diatur sangat ketat oleh hukum federal. Menurut pakar hukum imigrasi, proses denaturalisasi hanya dapat dilakukan melalui pengadilan federal dan membutuhkan bukti kuat atas kecurangan atau tindakan melawan negara.
Pernyataan Trump disebut sejumlah media AS sebagai bentuk “ujian politik” untuk melihat reaksi publik terhadap kebijakan yang kontroversial dan berpotensi diskriminatif.
Sementara itu, sejumlah organisasi hak asasi manusia menyuarakan keprihatinan mereka. Mereka menilai ancaman pencabutan kewarganegaraan ini dapat menciptakan ketakutan di kalangan komunitas imigran dan warga negara hasil naturalisasi.
Pakar imigrasi juga memperingatkan bahwa politisasi proses kewarganegaraan dapat merusak integritas hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi jutaan warga negara hasil naturalisasi di Amerika Serikat.
Selain ketiga tokoh tersebut, belum ada nama lain yang diumumkan menjadi target denaturalisasi. Namun, wacana yang dilontarkan Trump ini menimbulkan kekhawatiran akan perluasan kebijakan secara arbitrer.
Sejumlah pengamat menyatakan bahwa retorika seperti ini bisa mengarah pada pembatasan hak-hak sipil dan menciptakan stigma negatif terhadap kelompok tertentu.
Reaksi publik pun beragam. Di media sosial, komentar Trump mendapat dukungan dari sebagian pendukungnya, namun juga menuai kritik tajam dari pegiat demokrasi dan keadilan sosial.
Hingga saat ini, tidak ada langkah hukum nyata yang diambil pemerintah AS terkait pencabutan kewarganegaraan terhadap Elon Musk, Zohran Mamdani, maupun Rosie O’Donnell. Namun ketiganya menjadi simbol peringatan terhadap potensi penyalahgunaan kebijakan imigrasi.
Langkah pencabutan kewarganegaraan, jika dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, dikhawatirkan akan merusak prinsip dasar negara hukum dan keadilan yang selama ini dijunjung dalam sistem hukum Amerika Serikat.
Trump belum mengklarifikasi lebih lanjut apakah komentarnya merupakan bagian dari rencana kebijakan konkret atau hanya reaksi spontan terhadap pertanyaan wartawan. Meski demikian, komentar tersebut telah memicu debat nasional soal batas-batas kekuasaan eksekutif dalam urusan kewarganegaraan.
ketiga tokoh yang disebut Donald Trump dalam pernyataan terbarunya adalah figur publik dengan latar belakang naturalisasi yang sah secara hukum. Hingga kini, tidak ada pelanggaran hukum dari ketiganya yang dapat menjadi alasan pencabutan kewarganegaraan secara sah. Namun, pernyataan Trump membawa kekhawatiran akan kemungkinan penggunaan kebijakan denaturalisasi secara politis.
Pernyataan yang tidak diikuti langkah hukum konkret menunjukkan kemungkinan besar bahwa komentar tersebut bersifat spekulatif dan bertujuan politik. Tetapi ancaman simbolis terhadap kewarganegaraan tetap menimbulkan rasa tidak aman di kalangan warga naturalisasi.
Isu ini memperlihatkan betapa sensitifnya persoalan kewarganegaraan dan imigrasi di tengah situasi politik AS yang memanas jelang pemilu. Retorika semacam ini dapat memperkeruh suasana dan memperdalam polarisasi sosial.
Diperlukan kejelasan hukum yang kuat agar status kewarganegaraan tidak menjadi alat politik. Pemerintah dan institusi hukum diharapkan menjaga netralitas dan integritas dalam menangani isu ini.
agar warga naturalisasi tetap merasa aman, perlu ada jaminan hukum dan edukasi mengenai hak-hak mereka. Pemerintah juga harus transparan jika ada kebijakan terkait denaturalisasi dan memastikan proses hukum berjalan secara adil.
Masyarakat sipil dan organisasi HAM perlu lebih aktif memantau dan menyuarakan hak-hak kelompok rentan yang berpotensi terdampak kebijakan ini. Kesadaran hukum di masyarakat juga harus ditingkatkan agar tidak mudah termakan oleh retorika politik.
Media memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi yang berimbang dan faktual terkait kebijakan kewarganegaraan. Penting untuk menjaga agar isu ini tidak dimanfaatkan sebagai alat provokasi politik.
Para pejabat publik harus berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan yang berkaitan dengan hak konstitusional warga negara. Hal ini penting agar tidak menimbulkan keresahan atau ketakutan yang tidak perlu.
Terakhir, warga negara AS, baik lahir di dalam negeri maupun hasil naturalisasi, harus diperlakukan secara setara dalam kerangka hukum yang adil dan tidak diskriminatif. Semua warga negara berhak mendapatkan perlindungan penuh dari negara. (*)










