Jakarta, EKOIN.CO – Berikut laporan lengkap tentang mata uang paling buruk berkinerja di dunia berdasarkan data terbaru dari berbagai sumber.
Iran menjadi sorotan utama karena Iranian rial terus melemah tajam terhadap dolar AS. Nilainya menembus 1.000.000 rial per dolar pada awal 2025 akibat tekanan inflasi tinggi dan sanksi internasional yang terus berlanjut Pemerintah Iran mengusulkan reformasi redenominasi dengan memotong empat nol dari mata uang, namun analis memperingatkan bahwa langkah ini hanya bersifat nominal dan tidak menyelesaikan akar masalah ekonomi
Mata uang Lebanon, yakni Lebanese pound, berada di urutan terburuk. Penurunan nilai lebih dari 98 persen sejak krisis keuangan 2019 membuatnya menjadi mata uang paling tak berdaya dunia hingga pertengahan 2025 . Kondisi ini diperburuk oleh hiperinflasi, ketidakstabilan politik, dan krisis perbankan yang merusak kepercayaan publik
Vietnam juga masuk tiga besar mata uang paling lemah. Vietnamese dong diperdagangkan sekitar VND 25.600 per dolar pertengahan 2025, didorong oleh ketidakseimbangan perdagangan dan suplai uang yang besar meskipun pertumbuhan ekonomi stabil
Negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Malawi turut menampilan kekuatan mata uang gejala lemah. Nigerian naira tercatat mengalami depresiasi lebih dari 100 persen pada 2024, melonjak dari sekitar ₦758 ke lebih dari ₦1.549 per dolar pada akhir tahun Demikian pula, Malawian kwacha melemah sekitar 66–67 persen dalam periode yang sama, dipicu defisit perdagangan dan minimnya investasi asing
Selain itu, Laotian kip, Sierra Leonean leone, Guinean franc, dan Paraguayan guarani juga masuk daftar sepuluh besar mata uang paling lemah dunia pada 2025. Mereka menghadapi kombinasi inflasi, pertumbuhan ekonomi yang lambat, utang tinggi, dan ketidakstabilan politik
Mata Uang Paling Crisis di Timur Tengah dan Afrika
Di Timur Tengah, Iran dan Lebanon menonjol sebagai kasus paling parah. Iran menghadapi efek dominosan dari sanksi ekonomi yang membatasi akses devisa, sedangkan Lebanon terus terperosok dalam krisis fiskal dan perbankan sejak 2019. Kedua negara ini menyaksikan nilai tukar mata uang lokal terhadap dolar melemah secara dramatis, menjadikan mereka paling buruk di dunia secara nilai tukar.
Sementara itu di Afrika, negara-negara seperti Nigeria, Malawi, Sierra Leone, Guinea, dan Madagascar menunjukkan tren mata uang yang merosot tajam. Tingkat inflasi tinggi, ketergantungan pada ekspor komoditas, serta kelemahan kebijakan moneter memperparah kondisi nilai tukar mereka.
Reformasi dan Prospek Pemulihan
Iran mengusulkan pemotongan empat nol dari nilai rial untuk menyederhanakan transaksi dan administrasi keuangan Namun, tanpa reformasi struktural—menuju diversifikasi ekonomi dan kontrol inflasi—langkah ini diyakini hanya kosmetik. Di sisi lain, beberapa bank sentral Afrika telah memperkenalkan intervensi pasar valuta asing serta kebijakan suku bunga tinggi untuk mencoba stabilisasi.
Namun demikian, analis tetap pesimis terhadap pemulihan jangka pendek. Selain tekanan eksternal seperti guncangan komoditas, banyak negara menghadapi ketidakpastian politik dan reformasi ekonomi yang lambat.
Dalam situasi seperti ini perlu langkah kebijakan yang terintegrasi, mulai dari stabilisasi fiskal hingga reformasi struktural. Negara perlu menahan suplai uang berlebih dan mengendalikan inflasi agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Reformasi mata uang seperti pemotongan nol harus diiringi rencana makroekonomi yang matang. Kerjasama internasional dan bantuan teknis bisa memperkuat sistem keuangan yang rapuh. Pemantauan ketat terhadap kebijakan moneter serta transparansi komunikasi akan membantu pasar tetap stabil.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










