KOTA GAZA, EKOIN.CO – Israel mengumumkan rencana merebut penuh Gaza dan memindahkan hampir satu juta penduduk ke wilayah selatan, meski banyak warga Palestina menolak meninggalkan rumah mereka. Batas waktu evakuasi yang ditetapkan hingga 7 Oktober memicu kecemasan mendalam di tengah ancaman operasi militer besar-besaran.
[Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v]
Umm Imran, warga Kota Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa tentara Israel terus mendesak mereka untuk pergi. “Mereka bilang pergi ke selatan, tapi tidak ada tempat aman. Kami akan tinggal di sini,” ujarnya.
Ibunya, Umm Yasser, menegaskan tekad serupa. “Kami tidak akan meninggalkan Kota Gaza. Semua kenangan ada di sini. Meskipun kami mati, kami tidak akan pergi,” katanya.
Sayed al-Zard, yang kini tinggal di tenda, menyebut keluarganya sudah mengungsi sepuluh kali. “Kami tidak punya rumah lagi. Semuanya hilang. Saya akan mati di tanah saya,” ucapnya.
Israel Tetapkan Tenggat Evakuasi Gaza
Kabinet keamanan Israel pada Kamis malam menyetujui operasi militer penuh di Kota Gaza. IDF akan memerintahkan warga pindah ke selatan sebelum serangan dimulai.
Rencana ini, yang dikaitkan dengan peringatan dua tahun serangan Hamas, memberi waktu dua bulan bagi Israel untuk mempersiapkan langkah kemanusiaan bagi sekitar satu juta penduduk.
Pemerintah Inggris melalui pernyataan Nomor 10 menilai keputusan Israel sebagai langkah yang salah. “Tindakan ini tidak akan mengakhiri konflik atau membantu pembebasan sandera. Justru akan membawa lebih banyak pertumpahan darah,” tulis pernyataan itu.
Sir Ed Davey dari Partai Demokrat Liberal mendesak sanksi terhadap PM Benjamin Netanyahu. Sebaliknya, Partai Konservatif menilai rencana gencatan senjata dan pengakuan Palestina tidak realistis.
Kritik Internasional terhadap Operasi di Gaza
Letnan Jenderal Eyal Zamir, Kepala Staf IDF, diketahui menentang rencana ini namun tetap bertahan di posisinya. Ia memimpin evaluasi situasi dengan Komando Selatan untuk merumuskan rencana lanjutan di Jalur Gaza.
Jerman menyatakan tidak akan menyetujui ekspor peralatan militer yang dapat digunakan di Gaza. Kanselir Friedrich Merz mengatakan semakin sulit memahami bagaimana operasi ini akan mencapai tujuan pelucutan senjata Hamas.
Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan ultra-nasionalis Israel, menyatakan akan “menghapus” negara Palestina dan memperbaiki “dosa” pembongkaran permukiman Yahudi di Gaza 20 tahun lalu. Ia difoto bersama grafiti “Matilah Orang Arab” namun kemudian membantah mendukungnya.
Hamas memperingatkan bahwa pendudukan Kota Gaza berarti mengorbankan nyawa sandera. “Netanyahu tidak peduli dengan nasib tawanan. Memperluas agresi berarti mengorbankan mereka,” kata pernyataan resmi kelompok itu.
Operasi ini menambah ketegangan di kawasan yang sudah dilanda krisis kemanusiaan parah. Warga menghadapi kelangkaan makanan, air bersih, dan layanan medis.
Organisasi kemanusiaan memperingatkan bencana pengungsian massal jika rencana ini dijalankan. Mereka menekankan bahwa setiap upaya relokasi harus mempertimbangkan keselamatan warga sipil.
Sementara itu, di lapangan, artileri dan serangan udara Israel terus menghantam beberapa wilayah utara Gaza, memicu gelombang pengungsian kecil meski sebagian besar warga tetap bertahan.
Negosiasi pembebasan sandera yang melibatkan mediator internasional juga terancam gagal jika operasi besar dimulai sebelum kesepakatan tercapai.
Israel mengklaim langkah ini diperlukan untuk mengalahkan Hamas sepenuhnya, namun pengamat menilai keberhasilannya masih diragukan.
Keputusan ini dikhawatirkan akan memperburuk citra Israel di mata komunitas internasional, terutama di negara-negara sekutu yang mendukung solusi dua negara.
Serangan darat skala penuh diperkirakan akan memakan korban besar di kedua pihak, menambah daftar panjang tragedi kemanusiaan di Gaza.
Jika rencana dilaksanakan, penduduk yang tersisa di utara akan menghadapi isolasi penuh tanpa akses bantuan kemanusiaan.
Masa depan Gaza kini berada di ujung tanduk, dengan pilihan yang semakin terbatas bagi warganya.
Situasi ini menjadi ujian besar bagi diplomasi global untuk mencegah eskalasi yang lebih luas di kawasan Timur Tengah.
Krisis Gaza ini menegaskan bahwa tanpa penyelesaian politik yang adil, kekerasan akan terus berulang.
Upaya diplomatik harus segera diperkuat untuk menghentikan eskalasi di Gaza.
Negara-negara mediator perlu memprioritaskan keselamatan warga sipil di atas kepentingan politik.
Organisasi internasional harus mendesak akses kemanusiaan tanpa hambatan.
Masyarakat global perlu menggalang dukungan publik demi perdamaian Gaza.
Israel dan Hamas harus diarahkan ke meja perundingan secepatnya.
:
Gaza kembali menjadi pusat krisis kemanusiaan akibat konflik berkepanjangan.
Batas waktu evakuasi menambah tekanan bagi warga sipil yang sudah menderita.
Kritik internasional menunjukkan adanya keprihatinan luas terhadap rencana Israel.
Tanpa langkah damai, Gaza akan terus dilanda kekerasan.
Masa depan Gaza bergantung pada kemauan politik semua pihak untuk menghentikan perang.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










