JAKARTA, EKOIN.CO – PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) memberikan klarifikasi resmi terkait tuduhan merugikan negara dalam proses akuisisi 51% saham oleh konsorsium di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Polemik lama ini kembali mencuat setelah adanya pernyataan dari Ketua Lembaga Pengkajian Ekonomi Keuangan Negara (LPEKN), H.M. Sasmito Hadinagoro, yang menyebut adanya kejanggalan besar dalam transaksi tersebut. Gabung WA Channel EKOIN di sini
Sasmito menilai harga akuisisi hanya sekitar Rp5 triliun tidak sebanding dengan klaim aset BCA yang mencapai lebih dari Rp200 triliun saat itu. Ia menyebut bahwa kondisi tersebut berpotensi merugikan negara karena nilai transaksi dinilai terlalu rendah.
“Nilai BCA itu lebih dari Rp200 triliun, tapi dijual hanya Rp5 triliun. Itu sama saja gratis,” ujar Sasmito. Ia menambahkan, pada Desember 2002, nilai saham BCA tercatat sekitar Rp117 triliun, sementara bank memiliki kewajiban utang ke negara Rp60 triliun yang diangsur setiap tahun.
Klarifikasi BCA soal Valuasi Saham
Menanggapi tudingan tersebut, Sekretaris Perusahaan BBCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, menegaskan informasi yang beredar tidak benar. Ia menyatakan bahwa angka Rp117 triliun yang sering disebut publik bukanlah nilai pasar BCA, melainkan total aset perusahaan.
“Informasi yang menyebutkan bahwa pembelian 51% saham BCA dengan nilai hanya sekitar Rp5 triliun diduga melanggar hukum karena nilai pasar BCA saat itu dinilai sekitar Rp117 triliun, merupakan informasi yang tidak benar,” ujar Ketut dalam keterbukaan informasi, Rabu (20/8).
Ketut menjelaskan, nilai pasar sesungguhnya ditentukan oleh harga saham di Bursa Efek Indonesia dikalikan jumlah saham beredar. Pada periode strategic private placement, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata tercatat sekitar Rp10 triliun. Angka inilah yang dijadikan acuan dalam transaksi akuisisi.
Dengan demikian, menurut Ketut, akuisisi 51% saham BCA oleh konsorsium FarIndo yang menang tender merupakan cerminan kondisi pasar saat itu. Transaksi tersebut juga dilakukan secara terbuka oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atas nama Pemerintah RI.
Penjelasan Utang Rp60 Triliun
Selain itu, Ketut juga meluruskan tuduhan mengenai utang Rp60 triliun BCA kepada negara. Ia menegaskan, informasi tersebut tidak sesuai fakta.
“Terkait informasi BCA yang memiliki utang kepada negara Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya adalah tidak benar. Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku,” jelasnya.
Menurutnya, obligasi tersebut merupakan bagian dari restrukturisasi perbankan nasional pasca-krisis, dan tidak bisa dipahami sebagai utang yang membebani negara.
Pihak BBCA menekankan kembali bahwa seluruh proses akuisisi berjalan transparan, akuntabel, dan sesuai aturan yang berlaku pada saat itu.
Klarifikasi ini disampaikan untuk meluruskan persepsi publik sekaligus menjawab keraguan terkait keabsahan transaksi yang dilakukan lebih dari dua dekade lalu.
Polemik lama ini kembali menjadi perhatian publik setelah muncul narasi bahwa transaksi akuisisi saham BCA dilakukan dengan harga yang tidak wajar. Namun, manajemen BBCA memastikan bahwa semua perhitungan nilai pasar sudah sesuai mekanisme bursa.
Hingga kini, BBCA tetap menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia dengan kinerja keuangan yang solid. Pihak perusahaan berharap penjelasan ini bisa mengakhiri spekulasi mengenai proses akuisisi di masa lalu.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










