Jakarta, EKOIN.CO – Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam luar biasa dengan 22 tipe ekosistem, di mana delapan di antaranya digolongkan sebagai ekosistem penting. Kedelapan ekosistem itu meliputi ekosistem lamun, karst, danau, hutan kerangas, terumbu karang, mangrove, savana, dan gambut.
Namun demikian, dalam acara MINDIALOGUE: Korporasi Hebat, Alam Selamat pada Jumat (29/8/2025), Hanif menuturkan bahwa kementeriannya baru saja merampungkan peraturan pemerintah untuk dua jenis ekosistem. Aturan untuk ekosistem gambut telah disahkan pada 2020, sementara regulasi tentang pemeliharaan ekosistem mangrove baru selesai belum lama ini.
“Jadi dua hal ini saja. Masih ada enam lagi yang belum kita susun regulasinya, bagaimana tatalaksana dari penanganan biodiversitas kita,” kata Hanif. Ia menambahkan, “Dari konteks ini, maka kita bisa membayangkan betapa banyaknya tantangan yang harus kita hadapi.”
Hanif juga menjelaskan bahwa berdasarkan indeks, keanekaragaman hayati Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi di dunia setelah Brazil, dengan nilai 418,78. Oleh karena itu, menurutnya, menjaga ekosistem tersebut menjadi tanggung jawab bersama, termasuk dari sektor industri.
Lebih lanjut, Hanif menyebutkan beberapa komitmen internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, di antaranya:
- Confession on Biological Diversity (CBD): perjanjian multilateral untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan memastikan pembagian keuntungan yang adil.
- Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF): perjanjian 196 negara untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati pada 2030.
- Nagoya Protocol: perjanjian internasional yang melindungi keanekaragaman hayati dari praktik biopirasi.
- Cartagena Protocol: perjanjian yang memastikan penanganan aman terhadap organisme hasil modifikasi genetika.
Meskipun demikian, Hanif menegaskan bahwa implementasi dari komitmen tersebut masih menjadi tantangan. “Sekali lagi, kita hanya mampu meratifikasinya. Kemudian bagaimana mengimplementasikannya, kita belum punya instrumental untuk menarik keuntungan dari biodiversity kita yang banyak di luar negeri,” pungkasnya.










