Jakarta, EKOIN.CO – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan memori kasasi dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng dengan menyertakan dugaan suap senilai Rp60 miliar terhadap hakim. Dugaan suap itu ditambahkan sebagai salah satu pertimbangan untuk memperkuat upaya kasasi atas vonis lepas terdakwa korporasi.
Direktur Penuntutan (Dirtut) Jampidsus Kejagung, Sutikno, menyampaikan bahwa kasasi mereka disertai keterangan mengenai penangkapan yang dilakukan setelah vonis dijatuhkan. Penangkapan itu terkait adanya indikasi kuat telah terjadi suap dalam perkara tersebut.
Menurut Sutikno, Kejagung tidak dapat mengabaikan fakta adanya dugaan suap karena hal itu merupakan bagian dari kekuatan bukti untuk membatalkan putusan lepas terdakwa. Ia menegaskan bahwa peristiwa ini telah menjadi fakta dalam proses penanganan perkara.
“Karena itu bagian daripada yang nggak mungkin kita lepaskan, karena itu adalah kekuatan kita,” kata Sutikno kepada wartawan di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu, 2 Juli 2025.
Kasasi atas putusan ontslag atau vonis lepas terhadap terdakwa diajukan Kejagung pada 27 Maret 2025. Ketiga terdakwa korporasi dalam kasus tersebut adalah PT Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Mahkamah Agung (MA) menyatakan akan mengawal proses kasasi yang diajukan Kejagung. MA juga menegaskan bahwa vonis lepas terhadap korporasi migor tersebut belum berkekuatan hukum tetap.
Kejagung mengungkap bahwa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, telah resmi ditahan karena diduga menerima suap dalam perkara tersebut. Arif diduga menerima uang sebesar Rp60 miliar.
Dilansir dari detikcom, selain Arif, terdapat tiga hakim lainnya yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung. Ketiganya adalah Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtaro, dan Djuyamto.
Ketiga hakim tersebut diduga menerima suap senilai Rp22,5 miliar dalam perkara yang sama. Mereka bekerja sama dengan Arif Nuryanta serta dua pengacara, yaitu Marcella Santoso dan Ariyanto, serta seorang panitera muda dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
Kasus ini mencuat setelah majelis hakim memberikan putusan lepas kepada para terdakwa korporasi dalam kasus korupsi ekspor CPO. Putusan tersebut menimbulkan kontroversi karena tidak disertai pidana terhadap korporasi.
Sutikno menyampaikan bahwa memori kasasi menyebutkan dengan tegas tentang adanya proses penangkapan dan penyidikan terhadap pihak-pihak yang diduga menerima suap pasca putusan. Hal ini dinilai dapat memperkuat argumen hukum di Mahkamah Agung.
Sementara itu, Kejagung memastikan proses penyidikan terhadap para tersangka suap berjalan paralel dengan upaya kasasi. Pihaknya meyakini bahwa ada keterkaitan langsung antara suap dan putusan lepas yang diterbitkan majelis hakim.
Dalam kasus ini, Kejagung menyita sejumlah dokumen, rekaman komunikasi, serta bukti transaksi keuangan yang mengindikasikan adanya aliran dana suap dari pihak-pihak tertentu kepada para penegak hukum.
Kejagung juga membuka kemungkinan adanya tersangka baru berdasarkan pengembangan dari hasil penyidikan dan analisis transaksi mencurigakan dalam kasus ini.
Menurut informasi yang diterima, dugaan suap dilakukan untuk mempengaruhi hasil vonis dan menghindarkan terdakwa dari sanksi pidana. Hal ini kemudian menjadi perhatian publik dan Mahkamah Agung.
Penelusuran Kejagung menyebutkan bahwa aliran dana suap disalurkan melalui jalur tidak langsung untuk menghindari deteksi. Investigasi forensik keuangan terus dilakukan untuk mengungkap struktur pendanaan suap.
Mahkamah Agung sendiri menyambut baik keseriusan Kejagung dalam mengungkap dugaan suap di balik vonis lepas ini. MA menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melindungi aparat pengadilan yang terbukti menyalahgunakan wewenangnya.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan pemerhati hukum turut menyoroti kasus ini sebagai ujian integritas peradilan di Indonesia, khususnya dalam menangani perkara korupsi yang melibatkan korporasi besar.
Dugaan keterlibatan pengacara dan panitera dalam praktik suap ini juga memperlihatkan pentingnya pengawasan internal di lingkungan lembaga peradilan dan profesi hukum secara menyeluruh.
Badan Pengawas MA dilaporkan ikut melakukan pemeriksaan etik terhadap hakim-hakim yang tersangkut kasus ini guna memastikan ada sanksi administratif selain proses pidana.
Dalam perkembangan lanjutan, Kejagung membuka ruang kerja sama dengan KPK dalam pengumpulan dan sinkronisasi data guna memperkuat dakwaan dan argumentasi hukum di tahap kasasi.
Saran dari kejadian ini adalah pentingnya penguatan sistem integritas dalam tubuh lembaga peradilan, termasuk melalui evaluasi menyeluruh atas mekanisme rekrutmen dan pembinaan hakim serta aparat pendukung peradilan. Pemerintah perlu memperluas penerapan sistem digital yang transparan dan dapat diawasi publik untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi pihak luar.
Langkah-langkah hukum yang dilakukan Kejagung menunjukkan sinyal tegas bahwa pelanggaran integritas oleh aparat penegak hukum tidak dapat ditoleransi. Hal ini perlu dikawal dengan dukungan dari berbagai pihak agar hasil kasasi mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana uang dapat merusak proses hukum jika tidak ada kontrol dan penegakan etik yang kuat. Oleh karena itu, lembaga seperti MA harus memastikan bahwa hasil pemeriksaan etik dipublikasikan secara transparan untuk efek jera.
Peran media dalam mengawal dan menyampaikan informasi secara berimbang sangat penting agar masyarakat mengetahui proses dan hasil hukum dari kasus korupsi ini. Keterbukaan informasi menjadi bagian dari pengawasan publik atas kerja lembaga negara.
Ke depan, diperlukan pembenahan menyeluruh pada sistem hukum agar tidak ada ruang bagi praktik suap dan gratifikasi di balik putusan pengadilan. Upaya ini harus dilakukan secara berkelanjutan dan terstruktur dengan dukungan semua elemen bangsa.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










