Washington EKOIN.CO – Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengadakan pertemuan penting di Gedung Putih pada Senin malam, 7 Juli 2025. Agenda utama pertemuan ini adalah membahas rencana kontroversial pemindahan warga Palestina dari Jalur Gaza serta prospek kesepakatan gencatan senjata yang didukung oleh Amerika Serikat.
Pertemuan kedua tokoh berlangsung di Ruang Biru Gedung Putih dan bertepatan dengan perundingan tidak langsung antara Israel dan Hamas yang digelar di Qatar. Dalam perundingan tersebut, kedua pihak membahas usulan gencatan senjata selama 60 hari untuk meredakan konflik berkepanjangan.
Konflik antara Israel dan Hamas telah berlangsung lebih dari 22 bulan, menciptakan krisis kemanusiaan yang sangat memprihatinkan di Gaza. Ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih dan layanan kesehatan.
Rencana Relokasi dan Dukungan AS
Dalam jamuan makan itu, Netanyahu menyatakan bahwa Israel dan Amerika Serikat saat ini tengah berkoordinasi dengan beberapa negara untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi rakyat Palestina. Ia mengisyaratkan kemungkinan pemindahan warga Gaza ke negara-negara tetangga sebagai bagian dari solusi jangka panjang.
“Jika orang ingin tinggal, mereka boleh tinggal, tetapi jika mereka ingin pergi, mereka seharusnya bisa pergi. Seharusnya bukan penjara. Seharusnya tempat itu terbuka dan memberi orang pilihan bebas,” ujar Netanyahu sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Rabu, 9 Juli 2025.
Trump pun menambahkan bahwa negara-negara sekitar telah menunjukkan kerja sama yang baik dalam mendukung inisiatif ini. Ia menyebut bahwa “sesuatu yang baik akan terjadi” sebagai hasil dari upaya kolaboratif tersebut.
Sebelumnya, Trump sempat mengemukakan gagasan kontroversial untuk mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”. Pernyataan tersebut menuai kritik tajam dari berbagai kalangan yang menganggapnya tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Kecaman Internasional dan Perspektif Hukum
Kebijakan relokasi warga Palestina menuai kecaman dari komunitas internasional. Menurut laporan jurnalis Al Jazeera, Hamdah Salhut, dari Amman, konsep migrasi sukarela telah lama dipromosikan oleh Israel namun ditolak banyak pihak sebagai bentuk pembersihan etnis terselubung.
Pakar hukum internasional Ralph Wilde menegaskan bahwa rencana relokasi tersebut melanggar hukum internasional. “Hukum internasional dengan tegas melarang pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza maupun Tepi Barat, termasuk pemindahan di dalam wilayah itu sendiri,” jelas Wilde.
Ia juga menyatakan bahwa kehadiran Israel di wilayah Gaza dan Tepi Barat sejak awal sudah dianggap ilegal oleh hukum internasional. Oleh karena itu, segala tindakan yang diambil di wilayah tersebut tidak memiliki legitimasi hukum.
“Karena ini merupakan bagian dari serangan yang meluas dan sistematis yang ditujukan terhadap rakyat Palestina, ini juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,” tegas Wilde, menyoroti tingkat tanggung jawab negara maupun individu atas kebijakan tersebut.
Rencana relokasi ini menambah daftar panjang persoalan pelik di kawasan Timur Tengah. Komunitas internasional pun didesak untuk memperkuat tekanan diplomatik terhadap rencana-rencana yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Negosiasi gencatan senjata yang tengah berlangsung di Qatar tetap menjadi harapan bagi meredanya ketegangan. Namun, berbagai pihak mencemaskan bahwa rencana relokasi bisa memperumit proses perdamaian yang sudah rapuh.
Kendati Netanyahu menyebut relokasi sebagai opsi sukarela, kelompok-kelompok hak asasi manusia memandang bahwa kebijakan semacam ini memiliki implikasi serius terhadap keberlangsungan populasi Palestina di tanah airnya sendiri.
Sejumlah negara tetangga dilaporkan tengah didekati untuk menampung warga Gaza. Namun, hingga saat ini belum ada negara yang secara terbuka menyatakan kesediaannya untuk menerima warga Palestina dalam skema relokasi tersebut.
Laporan juga menyebutkan bahwa tekanan dari kelompok oposisi dalam negeri di Israel ikut meningkat, menyusul munculnya kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa memperburuk citra Israel di mata internasional.
Organisasi-organisasi internasional seperti PBB dan Amnesty International disebut terus memantau situasi ini secara ketat, sembari mendesak transparansi dalam setiap langkah yang diambil oleh pemerintah Israel dan sekutunya.
Negara-negara Uni Eropa pun dilaporkan tengah membahas sikap bersama terkait rencana relokasi warga Gaza yang dianggap bisa memicu eksodus massal dan memperburuk ketegangan geopolitik regional.
Gencatan senjata sementara yang sedang dinegosiasikan turut menjadi sorotan. Banyak pihak berharap agar kesepakatan ini dapat menjadi pijakan untuk merancang solusi permanen yang lebih adil dan berkelanjutan bagi rakyat Palestina.
Belum ada keterangan resmi dari pihak Hamas terkait tanggapan mereka atas rencana relokasi tersebut. Fokus utama kelompok tersebut saat ini adalah keberlangsungan negosiasi gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan.
Masyarakat internasional diharapkan dapat memainkan peran aktif dalam menjamin bahwa setiap rencana atau kebijakan tidak mengarah pada pemaksaan, diskriminasi, atau penghilangan identitas nasional warga Palestina.
terbaik dalam menghadapi situasi ini adalah memperkuat jalur diplomasi multilateralisme yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, hukum internasional, dan hak asasi manusia. Dunia internasional harus menolak setiap bentuk relokasi yang tidak berdasarkan pada kesepakatan bebas dari warga yang terdampak secara langsung.
Pemerintah negara-negara tetangga dan organisasi regional perlu bersatu dalam sikap menolak kebijakan sepihak yang berpotensi menciptakan instabilitas jangka panjang. Kepastian hukum, perlindungan kemanusiaan, dan akses ke sumber daya dasar harus menjadi prioritas utama.
Kesepakatan gencatan senjata hendaknya tidak dijadikan instrumen untuk memuluskan agenda-agenda yang melanggar hukum. Sebaliknya, momentum ini semestinya dipakai untuk membangun kepercayaan dan dialog yang konstruktif.
Setiap upaya untuk menciptakan masa depan lebih baik bagi rakyat Palestina harus bersumber dari aspirasi mereka sendiri. Relokasi bukanlah jawaban selama dilakukan tanpa landasan kemanusiaan yang kuat dan tanpa partisipasi warga secara utuh.
, rencana relokasi Gaza yang dibahas oleh Trump dan Netanyahu perlu ditinjau secara menyeluruh berdasarkan norma-norma internasional. Komunitas global memikul tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan apa pun tidak melanggar hak dasar rakyat Palestina, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan perdamaian. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










