GAZA, EKOIN.CO – Negosiasi tidak langsung antara Hamas dan pejabat Israel yang berlangsung di Doha, Qatar selama 21 jam berakhir tanpa kesepakatan gencatan senjata. Kebuntuan terjadi karena Israel tetap bersikukuh untuk mempertahankan kendali atas 40 hingga 45 persen wilayah Gaza, termasuk seluruh bagian selatan Rafah serta kawasan utara dan timur.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Seperti dilaporkan oleh the Cradle pada Sabtu, 12 Juli 2025, Hamas menolak keras peta wilayah yang diajukan Israel dalam diskusi delapan sesi tersebut. Usulan itu dianggap sebagai bentuk pendudukan lanjutan dan tidak sejalan dengan tuntutan pengembalian ke batas wilayah seperti sebelum serangan besar Israel dimulai kembali pada Maret lalu.
Kebuntuan Dalam Negosiasi Panjang
Kerangka kerja yang sedang dinegosiasikan mencakup usulan gencatan senjata selama 60 hari dan pembebasan bertahap terhadap tawanan Israel yang ditahan Hamas. Namun, sejumlah isu penting tetap tidak terselesaikan, termasuk penarikan militer penuh dari wilayah Gaza.
Dua sumber Israel mengatakan kepada Reuters, Hamas menuntut agar semua pasukan Israel ditarik dari wilayah yang mereka duduki sejak agresi kembali meningkat beberapa bulan lalu. Permintaan ini juga menyertakan jaminan internasional terhadap pengiriman bantuan kemanusiaan secara berkelanjutan.
Hamas juga menuduh Israel melakukan tindakan “pengulur waktu” selama kunjungan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ke Washington pekan lalu. Delegasi Israel yang dikirim ke Doha disebut “tidak memiliki wewenang nyata” untuk menyelesaikan poin-poin penting yang masih menjadi perdebatan.
Sementara itu, pertempuran di lapangan terus berlanjut. Pada Jumat, 12 Juli 2025, terjadi bentrokan langsung antara pejuang Palestina dan tentara Israel di beberapa bagian Jalur Gaza. Media Israel melaporkan bahwa bentrokan tersebut menyebabkan korban di kedua belah pihak.
AS Belum Beri Tekanan Tambahan
Di tengah kebuntuan tersebut, keterlibatan Amerika Serikat tampaknya belum menunjukkan sinyal positif. Utusan khusus AS, Steve Witkoff, diketahui membatalkan rencana kunjungannya ke Doha yang semula dijadwalkan pekan ini, dengan alasan pembicaraan belum mencapai tahap yang cukup matang.
Menurut media Ibrani, kehadiran Witkoff sempat diharapkan sebagai pemicu terobosan. Kedua belah pihak melihat perannya sebagai kunci untuk memberikan “dorongan akhir” yang diperlukan agar kesepakatan bisa tercapai. Namun pembatalan kedatangannya menambah pesimisme dalam proses ini.
Delegasi dari Hamas dan Israel telah berada di Doha sejak 7 Juli 2025. Mereka berusaha menyepakati sejumlah poin, termasuk penarikan bertahap Israel, mekanisme pembebasan tawanan, dan pembentukan kerangka kerja untuk mengakhiri perang secara permanen.
Sumber Palestina menyebutkan bahwa perbedaan paling mendasar terletak pada tuntutan Hamas akan penghentian penuh permusuhan sebelum pertukaran tawanan dilakukan. Sementara Israel menegaskan bahwa mereka hanya akan melonggarkan pengepungan jika semua tawanan dibebaskan dan Hamas dibubarkan.
Masalah bantuan kemanusiaan juga menjadi ganjalan besar. Hamas menginginkan jaminan masuknya bantuan tanpa gangguan, sementara Israel mengaitkan pengiriman bantuan dengan hasil negosiasi serta kondisi keamanan di wilayah tersebut.
Dalam perkembangan terbaru, sumber Palestina menambahkan bahwa hambatan negosiasi kemungkinan besar hanya bisa diatasi dengan campur tangan langsung dari Amerika Serikat. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda tekanan tambahan yang datang dari pihak Washington.
Di sisi lain, tekanan juga datang dari kelompok perlawanan lain di Gaza yang mendesak Hamas agar tidak membuat kompromi yang dapat melegitimasi pendudukan Israel di wilayah mana pun di Jalur Gaza. Hal ini membuat ruang gerak politik Hamas menjadi semakin terbatas.
Selama beberapa bulan terakhir, upaya gencatan senjata berkali-kali mengalami kegagalan. Setiap kali pembicaraan mulai menunjukkan kemajuan, selalu muncul permintaan tambahan dari pihak Israel yang membuat proses kembali ke titik awal.
Israel diketahui telah melanggar kesepakatan gencatan sebanyak lebih dari 260 kali, menurut laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia di wilayah konflik. Sebanyak 132 warga Palestina tewas dalam pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan kekurangan akses ke layanan dasar seperti air bersih, listrik, dan makanan. Rafah menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak akibat serangan dan blokade yang terus berlangsung.
Seiring waktu, kepercayaan masyarakat Gaza terhadap proses negosiasi mulai luntur. Mereka menilai gencatan senjata tidak memberikan perlindungan yang nyata, karena selalu dibatalkan secara sepihak oleh pihak Israel tanpa konsekuensi berarti dari dunia internasional.
Upaya diplomatik yang dilakukan oleh berbagai negara Arab juga belum menunjukkan hasil yang konkret. Beberapa mediator regional bahkan menyatakan frustrasi karena kurangnya komitmen dari pihak Israel untuk menyelesaikan konflik secara menyeluruh.
Meskipun tekanan internasional semakin meningkat, namun kebijakan militer Israel tetap agresif. Mereka masih mempertahankan pengepungan total dan terus melanjutkan operasi militer di wilayah-wilayah yang dianggap sebagai basis Hamas.
dari kebuntuan ini menunjukkan bahwa selama Israel tetap menuntut kontrol atas sebagian besar wilayah Gaza, maka kesepakatan gencatan senjata akan sulit tercapai. Kepercayaan antara kedua pihak terus terkikis, dan proses damai makin menjauh.
Krisis ini telah menciptakan beban psikologis yang berat bagi warga sipil Palestina. Anak-anak, perempuan, dan lansia menjadi korban paling rentan dalam konflik berkepanjangan ini. Mereka sangat membutuhkan gencatan senjata yang adil dan perlindungan yang nyata.
pertama adalah pentingnya peran aktif dari Amerika Serikat sebagai sponsor utama proses perdamaian. Tanpa tekanan nyata terhadap Israel, negosiasi ini akan terus menemui jalan buntu.
Selanjutnya, komunitas internasional harus menetapkan parameter keadilan wilayah yang dapat diterima kedua pihak. Keseimbangan dalam pembagian wilayah merupakan kunci utama agar kesepakatan tidak melahirkan pendudukan baru.
Kemudian, pembentukan badan pengawas internasional diperlukan untuk menjamin pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza tanpa gangguan. Mekanisme pengawasan ini harus independen dan didukung oleh PBB.
Perlu juga dibuka kembali jalur-jalur diplomatik alternatif melalui negara-negara Arab yang memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak. Pendekatan multilayered diplomacy bisa memberi ruang kompromi lebih luas.
Terakhir, penghentian permusuhan yang permanen hanya dapat dicapai dengan pengakuan atas hak rakyat Palestina untuk hidup bebas di wilayah mereka sendiri. Tanpa pengakuan tersebut, konflik akan terus berulang.(*)










