Jakarta, EKOIN.CO – Bali, 10 Juli 2025 — Biaya pembangunan dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dipaparkan lebih murah dibandingkan batu bara oleh Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN, Syaiful Bakhri.
Dalam gelaran Periklindo EV Conference 2025 di Jimbaran, Bali, Syaiful memaparkan data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menjadi dasar perbandingan efisiensi biaya pembangkitan listrik.
“Sebagai perbandingan, di Jepang pada 2025, biaya listrik sebesar 1 MWh menggunakan PLTN adalah 61,2 dolar AS. Sementara menggunakan batu bara, mencapai 87,6 dolar AS, dengan faktor diskonto 3%,” jelasnya.
Menurut Syaiful, meski faktor diskonto ditingkatkan menjadi 7% sesuai rerata global, biaya listrik berbasis nuklir tetap lebih rendah dibandingkan batu bara. Hal itu menandakan potensi keekonomian PLTN di masa depan.
Ia juga menguraikan bahwa struktur biaya pembangunan PLTN bergantung pada lokasi. Biaya tertinggi tercatat di Amerika Serikat, yakni 12.000 dolar AS per kilowatt (kW), sementara yang paling rendah berada di Tiongkok, antara 1.800–5.000 dolar AS per kW.
Struktur Biaya PLTN dan Potensi Efisiensi
Syaiful mengungkapkan bahwa tenaga kerja menyumbang 25% dari total anggaran pembangunan PLTN. Disusul oleh biaya peralatan yang mencapai 16%, serta keterlambatan konstruksi sebagai faktor pembengkakan biaya.
Ia menambahkan bahwa bunga selama masa konstruksi atau Interest During Construction (IDC) bisa menyentuh 20% dari belanja modal. Hal ini terjadi karena proyek belum menghasilkan pendapatan selama proses pembangunan.
Terkait efisiensi, Levelized Cost of Energy (LCOE) untuk reaktor jenis Small Modular Reactor (SMR) sudah masuk tahap produksi massal atau Nth-of-a-Kind (NOAK).
“NOAK memiliki peluang lebih murah dibandingkan reaktor besar, dengan potensi penghematan 14–18%. LR (Large Reactor) hanya lebih unggul jika proyeknya stabil dan rampung dalam 5 tahun,” ujar Syaiful.
Ia turut menyinggung bahwa SMR jenis First-of-a-Kind (FOAK) memang lebih mahal karena masih menanggung beban desain awal dan perizinan. Namun biaya ini akan menurun saat masuk fase produksi massal.
Simulasi dan Proyeksi Biaya Masa Depan
“Simulasi Monte Carlo menunjukkan, SMR NOAK dengan masa konstruksi dua tahun dan sistem modular memiliki LCOE 5,4 sen dolar AS per kWh. Angka ini sedikit di atas LCOE reaktor besar yaitu 4,9 sen per kWh,” imbuhnya.
Sementara itu, Kurnia Azhar dari Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir (PRTRN) menyatakan, LCOE sangat ditentukan oleh pola pembiayaan dan suku bunga selama konstruksi. Faktor kapasitas juga menjadi komponen penting.
“Semakin tinggi faktor kapasitas dan efisiensi operasi, maka semakin murah harga listriknya. PLTN dan hidro besar yang stabil akan membuat sistem kelistrikan makin efisien,” jelas Kurnia.
Menurutnya, LCOE bisa semakin kompetitif apabila PLTN beroperasi secara optimal dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Stabilitas sistem kelistrikan nasional juga ikut meningkat.
Komposisi Pengeluaran dan Nilai LCOE
Kurnia menjabarkan bahwa PLTN generasi 3 dan 3+ memiliki LCOE sekitar 4–8 sen per kWh. Dari total biaya itu, 47,8% berasal dari belanja modal, yang menjadi porsi terbesar dalam investasi awal.
“Selanjutnya ada bunga dan pembiayaan sebesar 23,5%, lalu biaya operasi dan pemeliharaan tanpa bahan bakar sebesar 18,3%. Biaya bahan bakar sekitar 7%, serta dekomisioning dan pengelolaan limbah masing-masing 1,7%,” terang Kurnia.
Ia menekankan bahwa pemahaman terhadap rincian ini penting agar publik tidak hanya menilai PLTN dari nilai investasi awal, tetapi dari keekonomian jangka panjangnya.
Syaiful dan Kurnia kompak menyampaikan bahwa strategi transisi energi perlu mempertimbangkan keandalan pasokan dan efisiensi ekonomi. PLTN menjadi salah satu solusi penting ke arah net-zero emission.
Paparan dalam Periklindo EV Conference 2025 menegaskan bahwa biaya listrik dari PLTN lebih efisien dibandingkan batu bara, baik dari segi LCOE maupun struktur pembiayaannya. Ini didukung data dari OECD dan pengalaman negara lain.
PLTN jenis SMR menunjukkan potensi besar untuk dikembangkan secara massal dengan efisiensi lebih tinggi seiring kemajuan teknologi. Faktor bunga selama masa konstruksi dan keterlambatan pembangunan tetap menjadi tantangan utama.
Keberhasilan pengembangan PLTN di Indonesia akan sangat bergantung pada kebijakan pembiayaan, pengendalian proyek, serta pemahaman masyarakat tentang manfaat dan keekonomiannya dalam jangka panjang.(*)










