BRUSSELS, EKOIN.CO – Uni Eropa menegaskan rencana Israel memperluas permukiman di Tepi Barat merupakan pelanggaran hukum internasional dan harus segera dihentikan. Pembangunan ribuan unit rumah di wilayah yang dikenal sebagai E1 dinilai berpotensi memutus koneksi geografis antara Yerusalem Timur dan Tepi Barat, sekaligus mengancam solusi dua negara.
Ikuti berita terkini di WA Channel EKOIN
Uni Eropa Kritik Rencana Permukiman Israel
Dalam pernyataan resmi, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menegaskan keputusan Israel untuk memajukan proyek permukiman di E1 semakin melemahkan peluang perdamaian. Ia menyebutkan langkah itu jelas melanggar hukum internasional.
“Keputusan otoritas Israel untuk memajukan rencana permukiman E1 semakin melemahkan solusi dua negara sekaligus melanggar hukum internasional,” kata Kallas, seperti dikutip pada 15 Agustus.
Menurut Kallas, kebijakan permukiman Israel mencakup pembongkaran, pemindahan paksa, penggusuran, dan penyitaan rumah. Ia menekankan seluruh tindakan itu harus dihentikan, sebab menambah ketegangan yang sudah terjadi akibat operasi militer serta kekerasan dari para pemukim.
Kallas menambahkan, Uni Eropa mendesak Israel untuk tidak melanjutkan keputusan tersebut dan mengingatkan akan implikasi serius bagi upaya perdamaian. “Uni Eropa mendesak Israel untuk tidak melanjutkan keputusan ini, dengan mencatat implikasinya yang luas dan perlunya mempertimbangkan tindakan untuk melindungi kelangsungan solusi dua negara,” tegasnya.
Ribuan Unit Permukiman Disetujui
Sebelumnya, media Israel melaporkan bahwa Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich telah menyetujui pembangunan 3.401 unit permukiman di Ma’ale Adumim, wilayah timur Yerusalem, serta 3.515 unit lainnya di sekitarnya. Proyek besar ini disebut bertujuan memisahkan Tepi Barat menjadi dua bagian, yang berpotensi memutus koneksi antara kota-kota di utara dan selatan, sekaligus mengisolasi Yerusalem Timur.
Smotrich sendiri menegaskan dukungannya terhadap proyek tersebut ketika berdiri di lokasi pembangunan di Ma’ale Adumim. Ia mengklaim bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump pernah menyetujui proyek E1, meski hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari keduanya.
“Siapa pun di dunia yang mencoba mengakui negara Palestina hari ini akan menerima jawaban kami di lapangan. Bukan dengan dokumen, keputusan, atau pernyataan, tetapi dengan fakta. Fakta rumah, fakta permukiman,” ujar Smotrich, dikutip dari Reuters.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Palestina mengecam keras langkah ini. Menurutnya, rencana Israel merupakan bagian dari visi Netanyahu untuk membentuk “Israel Raya”. Mereka memperingatkan bahwa kebijakan ini akan memperkuat pendudukan sekaligus menghilangkan kemungkinan berdirinya negara Palestina.
Israel sendiri sebelumnya sempat membekukan rencana pembangunan di Ma’ale Adumim pada 2012, dan kembali pada 2020, setelah muncul penolakan dari Amerika Serikat, sekutu Eropa, serta pihak lain yang menilai proyek itu berbahaya bagi perdamaian jangka panjang.
Kini, pengaktifan kembali proyek tersebut berpotensi semakin mengisolasi Israel. Situasi ini diperparah dengan meningkatnya kecaman internasional terhadap operasi militernya di Gaza, serta sikap beberapa sekutu Barat yang mulai membuka opsi untuk mengakui negara Palestina.
Jika pembangunan tetap dijalankan, para analis menilai hubungan diplomatik Israel dengan sejumlah negara Eropa bisa memasuki fase terburuk. Sebab, rencana permukiman dianggap bukan hanya urusan internal, melainkan isu hukum internasional yang menyangkut masa depan kawasan.
Selain itu, proyek permukiman juga dinilai mengancam kelangsungan solusi dua negara yang selama ini didukung oleh banyak pihak. Tanpa jalur geografis yang menyambungkan wilayah Palestina, peluang berdirinya negara merdeka akan semakin menipis.
Bagi Palestina, isu permukiman bukan sekadar soal tanah, melainkan menyangkut hak hidup, ruang tinggal, dan masa depan warganya. Karena itu, setiap upaya memperluas permukiman akan terus mendapat perlawanan keras.
Sementara bagi Uni Eropa, menjaga kemungkinan solusi dua negara merupakan bagian penting dari kebijakan luar negerinya di Timur Tengah. Dengan posisi Israel yang kian terisolasi, tekanan internasional diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa bulan mendatang.
Jika tidak ada perubahan, rencana pembangunan ini berpotensi menjadi titik balik yang semakin menjauhkan Palestina dan Israel dari meja perundingan.
Uni Eropa menegaskan rencana Israel memperluas permukiman di Tepi Barat adalah pelanggaran hukum internasional dan ancaman nyata bagi perdamaian. Proyek E1 diyakini dapat memutus hubungan geografis wilayah Palestina, sehingga menghalangi tercapainya solusi dua negara.
Pembangunan ribuan unit rumah yang disetujui Smotrich memperkuat dominasi Israel di kawasan. Hal ini memicu kecaman Palestina serta meningkatkan ketegangan dengan komunitas internasional.
Kecaman dari Uni Eropa menandakan meningkatnya isolasi diplomatik Israel. Negara-negara Barat bahkan mulai mempertimbangkan langkah pengakuan terhadap Palestina sebagai reaksi.
Situasi ini menambah daftar panjang tantangan perdamaian di Timur Tengah. Permukiman yang terus diperluas hanya akan memperdalam luka konflik dan memperlemah upaya rekonsiliasi.
Oleh sebab itu, desakan untuk menghentikan pembangunan permukiman harus dipandang sebagai langkah penting menjaga perdamaian dan mencegah konflik semakin membesar. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










