Jayapura, EKOIN.CO – Fenomena keindahan alam Papua kembali menyita perhatian publik dengan munculnya padang rumput merah muda yang dikenal sebagai Owasi atau Rumput Mei, serta fenomena pasir timbul di Raja Ampat. Keindahan ini menjadi sorotan bagi warga lokal dan wisatawan, sekalipun juga menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan lingkungan.
Fenomena Owasi pertama kali terekam pada bulan Mei 2025 di beberapa dataran tinggi Pegunungan Cycloop, sekitar 25 kilometer barat Jayapura. Rumput ini tumbuh berwarna merah muda saat masa berbunga singkat, hanya berlangsung selama beberapa minggu (rri.co.id).
Masyarakat setempat menyebut Owasi sebagai momen penting, karena keindahan alam ini hanya muncul tiap Mei. Warga lokal dan penggiat lingkungan kerap berkumpul menikmati pemandangan sekaligus mengabadikannya dalam foto dan video.
Pada saat bersamaan, pesisir Raja Ampat juga memperlihatkan fenomena alam yang menarik: kemunculan pasir timbul di Pulau Mansuar. Spot ini menjadi destinasi favorit pagi dan sore hari, saat air laut surut dan menyisakan perairan dangkal berwarna biru kehijauan
Fenomena pasir timbul di Mansuar umumnya muncul sekitar pukul 06.00, 11.00, dan 15.00 WIT, dan berlangsung beberapa jam. Wisatawan domestik maupun mancanegara ramai datang untuk menikmati dan mengambil foto di atas hamparan pasir putih tersebut.
Secara visual, fenomena ini memperlihatkan gradasi warna laut yang memukau — biru tua di tengah perairan, biru muda di sekitar pasir, dan putih bersih pada pasir itu sendiri. Kontras warna menciptakan suasana yang eksotis dan menenangkan.
Fenomena Owasi dan pasir timbul hanya terjadi musiman. Rumput Mei mekar sebulan sekali, sementara pasir timbul bergantung pada siklus pasang surut. Kedua fenomena ini menjadikan Papua semakin dikenal sebagai destinasi ekowisata.
Keindahan ini tak hanya memikat wisatawan, tapi juga memacu ekonomi lokal. Pelaku pariwisata mencatat peningkatan pengunjung hingga 30% selama fenomena ini berlangsung. Homestay dan resort lokal seringkali penuh dipesan jauh hari.
Para pemandu lokal di Raja Ampat juga merancang paket tur khusus, menyertakan kunjungan ke spot Owasi dan pasir timbul sekaligus. Hal ini memberi nilai tambah terhadap pengalaman wisatawan.
Kepala Dinas Pariwisata Papua, Maria Wanggai, mengatakan bahwa fenomena ini harus dijaga kelestariannya. Ia mengimbau seluruh pihak tidak merusak habitat dan menjaga kebersihan alam saat mengunjungi lokasi.
Salah satu pemandu desa Mansuar, Anton Pangga, menyampaikan, “Kami hanya menggunakan sampah yang dibawa pulang, sekaligus memberikan pengarahan agar pengunjung tidak membuka terumbu karang.” Ia menegaskan bahwa ekowisata berkelanjutan menjadi prioritas.
Pengunjung juga diingatkan untuk menggunakan alas kaki ringan dan tidak mengambil pasir timbul untuk dibawa pulang. Hal ini bertujuan menjaga keseimbangan ekosistem dan estetika spot.
Sementara itu, fenomena Owasi juga menjadi momen edukasi lingkungan bagi sekolah dan komunitas konservasi alam. Banyak sekolah mengadakan kunjungan lapangan untuk menanamkan cinta alam kepada generasi muda.
Fenomena ini turut menarik perhatian media nasional dan internasional. Foto padang rumput merah muda dan pasir timbul berbalut laut biru viral di media sosial, memperluas citra positif Papua sebagai destinasi alam.
Meski saya viral, pihak pemerintah daerah tetap mengedepankan protokol pengunjung. Setiap rombongan dibatasi jumlahnya agar tidak membebani lokasi. Masyarakat lokal dilibatkan sebagai pemandu agar manfaat ekonomi langsung dirasakan.
Pengamatan ilmiah tengah dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua terkait rumput Owasi. Diharapkan penelitian dapat memberi pemahaman lebih dalam tentang jenis rumput dan mekanisme mekarnya.
Ke depan, sejumlah pihak menyarankan agar fenomena ini dimasukkan dalam kalender wisata resmi. Dengan demikian, pemerintah daerah dapat merancang promosi dan infrastruktur pendukung secara tepat waktu.
Namun, pengembangan wisata juga membawa tantangan. Ancaman pencemaran dan kerusakan fisik lokasi menjadi fokus pengawasan. Koalisi warga dan relawan lingkungan siap berpatroli menjaga kawasan.
Pada saat yang sama, aktivitas penambangan di berbagai daerah di Papua memicu kekhawatiran akan dampak lingkungan. Meski tidak terjadi di Raja Ampat dan Cycloop, fenomena pariwisata ini dinilai sebagai potensi alih ekonomi dari aktivitas destruktif.
Optimisme masyarakat lokal makin tumbuh. Dengan kondisi alam yang indah dan dikelola baik, pergeseran dari tambang menuju ekowisata dinilai sebagai langkah strategis dalam jangka panjang.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata saat ini mempertimbangkan alokasi anggaran untuk pelatihan pemandu lokal, fasilitas sanitasi, serta jalur transportasi menuju titik fenomena.
Model pengelolaan berbasis masyarakat menjadi sorotan. Desa-desa penghasil fenomena alam dilatih membuat SOP kunjungan dan menjaga regulasi konservasi berbasis budaya lokal.
Beberapa tokoh adat di Cycloop juga mengintegrasikan narasi budaya dan mitos lokal dalam paket wisata. Ini memberi nuansa edukatif sekaligus menjaga kearifan lokal tidak tergerus.
Sementara itu di Raja Ampat, organiasi masyarakat adat Waifuna kembali menggelar sasi laut, metode pengelolaan laut tradisional untuk menjaga kawasan agar dapat tetap lestari.
Fenomena pasir timbul tidak hanya dijual sebagai spot foto, tetapi juga dipadukan dengan edukasi tentang ekologi laut, koral, dan konservasi pesisir.
Pentas seni lokal diadakan di tepi pantai saat fenomena berlangsung. Tarian tradisional, lagu daerah, dan kisah mitos dipertunjukkan untuk memperkaya pengalaman wisatawan.
Tur ekowisata dikombinasi kunjungan ke desa adat lokal di Mansuar, tempat pengunjung belajar tentang cara hidup nelayan dan bertani air payau.
Beberapa startup pariwisata juga mulai bermunculan, menawarkan paket ramah lingkungan serta digitalisasi pemesanan dan edukasi via aplikasi.
Kolaborasi antara BBKSDA, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi mulai dirintis. Studi sistematis diharapkan bisa mendukung konservasi dan desain kawasan wisata.
Rencana jangka panjang menyebutkan akan dibuat skema zonasi yang jelas: area inti konservasi, zona wisata terbatas, dan buffer zone untuk pendukung ekonomi.
Saat ini, indikator awal menunjukkan bahwa pola pariwisata berkelanjutan telah ‘melambungkan’ kesejahteraan lokal tanpa merusak alam, selama pengawasan dijaga.
Tapi potensi lonjakan besar wisatawan harus dihadapi dengan kesiapan fasilitas, penegakan hukum, dan kerjasama seluruh elemen masyarakat.
Keberhasilan model ini bisa menjadi pilot untuk daerah konservasi lainnya di Papua, termasuk Pulau Biak, Wamena, dan Pulau Numfor.
Papua kini memiliki alternatif narasi wisata baru: bukan hanya kultur dan adventure, tetapi ekowisata estetis yang difokuskan pada fenomena alam langka.
Saran dan Kesimpulan:
Pengelolaan kawasan fenomena alam perlu disertai edukasi dan SOP yang jelas agar wisata tidak mencederai ekosistem.
Pelibatan masyarakat adat dan lokal selama pengelolaan akan meningkatkan keberlanjutan dan nilai budaya.
Penelitian ilmiah terhadap fenomena Owasi membantu memahami dan menjaga kelangsungan mekarnya.
Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan penggiat konservasi perlu dikawal melalui regulasi zonasi dan SDM terlatih.
Dengan pengawasan ketat, fenomena ini dapat menjadi model sukses ekowisata ramah lingkungan di Papua.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










