Washington ,EKOIN.CO – Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuai kontroversi usai memuji kemampuan berbahasa Inggris Presiden Liberia, Joseph Boakai, dalam sebuah pertemuan diplomatik yang digelar di Gedung Putih pada Rabu, 10 Juli 2025. Komentar yang disampaikan Trump justru menimbulkan kemarahan warga Liberia, yang menganggap pernyataan tersebut sebagai bentuk sindiran terselubung.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pertemuan tersebut berlangsung dalam rangkaian pertemuan antara Presiden Trump dan lima pemimpin negara Afrika Barat. Dalam kesempatan itu, Trump menyatakan kekagumannya atas kefasihan bahasa Inggris Boakai, menyebutnya “indah sekali.” Pujian ini, yang terdengar mengejutkan dari nada bicara Trump, menjadi sorotan utama setelah rekaman pertemuan beredar luas.
Menurut laporan Al Jazeera yang dikutip pada Rabu, Trump mengatakan, “Bahasa Inggrisnya bagus sekali. Indah sekali bahasa Inggrisnya.” Ia kemudian bertanya, “Di mana kamu belajar berbicara seindah ini? Di mana kamu mengenyam pendidikan? Di Liberia?”
Komentar tersebut sontak menyulut reaksi keras dari warga Liberia. Banyak di antara mereka menilai pernyataan itu sebagai bentuk ejekan atau sindiran, mengingat bahasa Inggris telah menjadi bahasa resmi Liberia sejak lama. Sebagian masyarakat memandang bahwa pujian itu menunjukkan ketidaktahuan Trump terhadap sejarah hubungan AS dengan Liberia.
Sejumlah warga mengekspresikan kekesalannya di media sosial, menganggap pernyataan Trump sebagai cerminan sikap merendahkan negara mereka. Dalam banyak pernyataan, mereka menilai bahwa komentar itu bukanlah pujian tulus, melainkan bentuk dari sikap superioritas.
Liberia dikenal sebagai negara Afrika yang memiliki hubungan panjang dengan Amerika Serikat. Banyak institusi dan sistem di Liberia yang diadopsi dari AS sejak negara itu didirikan oleh mantan budak yang dibebaskan pada abad ke-19.
Menanggapi kegaduhan tersebut, Juru Bicara Presiden Boakai, Kula Fofana, menyerukan agar publik dan media lebih fokus pada isi pembicaraan dalam pertemuan itu. “Saya rasa sebagai jurnalis, penting untuk fokus pada diskusi substantif dalam pertemuan itu,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Boakai justru melihat pujian itu sebagai pengakuan atas kejelasan dan kemampuan komunikasi Presiden Liberia. Pihaknya berharap hubungan bilateral dengan Amerika Serikat dapat diperkuat melalui pertemuan tersebut.
Menteri Luar Negeri Liberia, Sara Beysolow Nyanti, juga memberikan penjelasan melalui akun media sosial X. Menurutnya, komentar Trump merupakan pengakuan atas aksen unik Liberia yang dipengaruhi oleh sejarah Amerika.
“Warisan linguistik kami sangat dipengaruhi oleh Amerika, dan hal ini hanya diakui oleh Trump. Kami tetap berkomitmen untuk memperkuat hubungan Liberia dan AS yang didasarkan pada saling menghormati, nilai bersama, dan kemitraan yang bermakna,” tulis Nyanti.
Namun demikian, tidak semua pihak di Liberia menerima pernyataan tersebut dengan cara yang sama. Direktur riset di African Methodist Episcopal University, Abraham Julian Wennah, menyebut komentar Trump sebagai contoh dari kecenderungan Barat yang meragukan kemampuan intelektual pemimpin Afrika.
“Bagi sebagian orang, komentar itu bisa terdengar merendahkan, mencerminkan kecenderungan Barat yang sudah lama untuk terkejut saat pemimpin Afrika menunjukkan kefasihan intelektual,” ujar Wennah.
Menurut Wennah, dalam konteks pascakolonial, bahasa sering kali digunakan sebagai alat politik untuk menilai legitimasi dan kompetensi seseorang, terutama pemimpin dari negara berkembang.
Ia menjelaskan bahwa jika ditinjau dari gaya komunikasi Trump yang khas, maka pujian tersebut bisa saja dimaknai sebagai bentuk pengakuan atas kemampuan Boakai dalam diplomasi internasional.
Pertemuan tersebut dilaksanakan di tengah perubahan arah kebijakan luar negeri AS, dari pendekatan berbasis bantuan (aid) menjadi perdagangan (trade). Liberia, sebagai salah satu negara mitra, berharap dapat memperoleh keuntungan dari kebijakan baru tersebut.
Diskusi utama dalam pertemuan itu juga mencakup berbagai bidang strategis, termasuk peningkatan investasi, kerja sama pendidikan, serta pembangunan infrastruktur di kawasan Afrika Barat.
Selain isu kebahasaan, pihak Liberia menegaskan pentingnya menjaga hubungan bilateral yang kuat dan bermartabat. Mereka menolak untuk menjadikan pujian Trump sebagai isu utama yang menutupi agenda substansial lainnya.
Pihak Gedung Putih hingga kini belum memberikan tanggapan resmi terkait reaksi masyarakat Liberia terhadap komentar Trump. Namun media AS telah banyak menyoroti kejadian tersebut sebagai bagian dari dinamika hubungan AS-Afrika.
Para pengamat hubungan internasional menilai, peristiwa ini mencerminkan pentingnya sensitivitas budaya dalam diplomasi modern. Apa yang dimaksud sebagai pujian di satu pihak, bisa ditafsirkan sebaliknya di pihak lain.
Kejadian ini juga kembali menyoroti kompleksitas hubungan negara-negara maju dengan bekas koloni atau negara berkembang, di mana sejarah dan persepsi publik sering kali menjadi faktor yang menentukan.
Dalam konteks diplomasi global, insiden seperti ini menjadi pengingat bahwa setiap kata dan gestur pemimpin dunia membawa dampak simbolik yang besar, terutama dalam relasi antarnegara.
Masyarakat internasional kini mengamati bagaimana kedua negara menyikapi insiden ini, dan apakah dapat melanjutkan pembicaraan dalam suasana yang tetap konstruktif.
Presiden Boakai belum memberikan komentar langsung kepada publik mengenai kontroversi ini, namun jadwal diplomatiknya menunjukkan bahwa ia tetap berkomitmen pada penguatan kerja sama global.
dari peristiwa ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam dunia diplomasi tidak hanya bergantung pada isi pesan, tetapi juga cara penyampaiannya. Pujian yang tampaknya positif pun bisa menjadi kontroversi bila tidak disampaikan secara sensitif.
Respons cepat dari pejabat Liberia menunjukkan upaya untuk menenangkan ketegangan dan menjaga fokus pada agenda utama diplomatik. Pendekatan ini penting untuk menjaga stabilitas hubungan luar negeri.
Warga Liberia menunjukkan sikap kritis dan kesadaran sejarah yang tinggi, memperlihatkan bagaimana publik kini lebih peka terhadap simbolisme dan narasi kekuasaan dalam hubungan internasional.
Media memainkan peran besar dalam membentuk persepsi publik atas suatu peristiwa diplomatik. Oleh karena itu, penyampaian informasi yang adil dan berimbang sangat dibutuhkan.
Ke depan, diharapkan pemimpin dunia dapat lebih memahami konteks sosial-budaya mitra diplomatiknya agar komunikasi antarnegara berjalan lebih saling menghargai dan membangun kepercayaan.(*)










