JAKARTA, EKOIN.CO – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menegaskan bahwa pemindahan data pribadi ke Amerika Serikat (AS) yang tercantum dalam Joint Statement kesepakatan perdagangan antara kedua negara, bukanlah penyerahan data secara bebas. Penegasan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid dalam keterangan resminya pada Kamis, 24 Juli 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Meutya Hafid menjelaskan bahwa kesepakatan antara Indonesia dan AS tersebut justru memberi landasan hukum yang sah untuk melindungi data pribadi warga negara Indonesia (WNI). Menurutnya, mekanisme ini mengatur tata kelola lalu lintas data pribadi lintas negara secara aman dan terukur, termasuk dalam penggunaan layanan digital asal AS seperti media sosial, mesin pencari, layanan cloud, serta e-commerce.
“Itu bukanlah bentuk penyerahan data pribadi secara bebas, melainkan menjadi pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola lalu lintas data pribadi lintas negara,” ujar Meutya Hafid.
Kerangka Hukum Data Pribadi Diakui Kedua Negara
Meutya menambahkan, prinsip yang dipegang dalam kesepakatan ini adalah tata kelola data yang baik, perlindungan hak individu, serta kedaulatan hukum nasional. Pemindahan data pribadi ke AS tetap dilakukan dengan pengawasan ketat dari otoritas Indonesia dan mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar hukum terkait pemindahan data tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Kedua regulasi itu mengatur mekanisme pengiriman data pribadi ke luar negeri dan menjamin bahwa proses tersebut dilakukan secara legal.
“Pemerintah memastikan transfer data ke AS tidak dilakukan sembarangan. Sebaliknya, seluruh proses dilakukan dalam kerangka secure and reliable data governance, tanpa mengorbankan hak-hak warga negara,” tegas Meutya.
Dengan adanya tata kelola data yang transparan dan akuntabel, diharapkan Indonesia dapat bersaing dalam ekonomi digital global tanpa kehilangan kedaulatan atas data pribadi warga negaranya. Pemerintah juga berupaya agar pelindungan terhadap data tetap berada di bawah pengawasan hukum nasional.
Pemindahan Data Jadi Praktik Global Umum
Dalam keterangan yang sama, Meutya menjelaskan bahwa pengaliran data antarnegara merupakan praktik global yang kini umum dilakukan, terutama di negara-negara anggota G7 seperti AS, Jepang, Kanada, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris. Negara-negara tersebut telah lama menjalankan mekanisme transfer data lintas negara yang aman dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Transfer data pribadi lintas negara pada prinsipnya di masa depan adalah keniscayaan. Indonesia mengambil posisi sejajar dalam praktik tersebut, dengan tetap menempatkan pelindungan hukum nasional sebagai fondasi utama,” ungkap Meutya Hafid.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun kesepakatan perdagangan telah diumumkan secara publik, pemerintah Indonesia masih melanjutkan pembahasan teknis. Penyelesaian final atas kesepakatan ini akan terus dikaji agar seluruh aspek perdagangan digital terlindungi dengan baik.
Joint Statement yang dirilis oleh Gedung Putih pada Selasa, 22 Juli 2025, menyebutkan bahwa Indonesia berkomitmen menghapus hambatan terhadap perdagangan jasa dan investasi digital. Hal ini termasuk komitmen untuk mengizinkan transfer data pribadi ke luar wilayah Indonesia, khususnya ke AS.
Dalam Lembar Fakta yang dirilis bersamaan dengan Joint Statement, dijelaskan bahwa Indonesia akan mengakui AS sebagai negara yang memberikan perlindungan data pribadi yang memadai. Dengan pengakuan ini, perusahaan-perusahaan berbasis AS dapat memindahkan data pribadi secara legal sesuai hukum Indonesia.
“Perusahaan-perusahaan Amerika telah mengupayakan reformasi ini selama bertahun-tahun,” bunyi pernyataan Gedung Putih dalam Lembar Fakta tersebut, dikutip Rabu, 23 Juli 2025.
Meskipun kerangka kesepakatan telah diumumkan, proses negosiasi perdagangan digital masih berjalan dan belum mencapai tahap penandatanganan perjanjian final. Pemerintah Indonesia menekankan bahwa aspek teknis masih dibahas secara intensif sebelum perjanjian resmi diberlakukan.
“Kesepakatan masih dalam tahap finalisasi. Pembicaraan teknis masih akan berlangsung,” tutup Meutya Hafid dalam pernyataan persnya.
Diketahui, pemindahan data pribadi ini menjadi bagian dari perjanjian perdagangan resiprokal antara Indonesia dan AS, yang mencakup isu-isu digital, tarif, dan investasi lintas negara. Perjanjian ini diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak dengan tetap memperhatikan aspek keamanan dan hak digital warga negara.
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa perlindungan data pribadi akan tetap menjadi prioritas dalam setiap kesepakatan internasional yang menyangkut kepentingan nasional di bidang digital.
Indonesia juga menargetkan agar dengan adanya perjanjian ini, ekosistem digital nasional dapat berkembang dengan tetap mempertahankan prinsip kedaulatan data dan pengawasan hukum yang kuat.
Langkah ini dianggap penting agar pelaku usaha digital, baik lokal maupun asing, mematuhi standar pelindungan data yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia tetap berkomitmen menjaga kedaulatan data nasional dalam menghadapi dinamika global, termasuk arus data lintas negara. Dengan adanya kerangka hukum yang kuat, pemindahan data ke luar negeri tetap dikendalikan dan tidak terjadi tanpa pengawasan.
Pelaksanaan kesepakatan ini diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi digital nasional dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan data pribadi di era digital. Proses negosiasi yang masih berlangsung menunjukkan kehati-hatian pemerintah dalam menjaga hak dan kepentingan warganya.
Meski pengaliran data antarnegara menjadi praktik umum, Indonesia tetap berusaha menjadi negara yang mampu mengatur dan mengendalikan tata kelola data sesuai hukum nasional. Ini penting untuk membangun kepercayaan internasional sekaligus menjamin hak digital WNI.
Ke depan, perlu ada upaya peningkatan literasi digital dan pengawasan publik agar warga memahami haknya atas data pribadi dan memastikan pemanfaatannya sesuai ketentuan hukum. Hal ini menjadi bagian dari perlindungan komprehensif terhadap hak privasi.
Dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian, pemerintah harus membuka ruang dialog dengan berbagai pihak termasuk masyarakat sipil dan industri digital agar kebijakan data tetap adaptif namun tidak mengorbankan kepentingan nasional. (*)










