Washington EKOIN.CO – Dukungan publik Amerika Serikat terhadap aksi militer Israel di Gaza mengalami penurunan signifikan, mencerminkan pergeseran sikap politik dan sosial di dalam negeri. Survei Gallup terbaru yang dirilis pada akhir Juli 2025 menunjukkan hanya 32 persen warga AS yang masih mendukung operasi militer Israel, jumlah terendah sejak perang di Gaza meletus pada 7 Oktober 2023.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Temuan Gallup tersebut menyoroti ketimpangan dukungan antarpartai. Sebanyak 71 persen pendukung Partai Republik tetap mendukung Israel, tetapi hanya delapan persen dari kalangan Partai Demokrat dan 25 persen dari pemilih independen yang memiliki pandangan serupa. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan politisi pro-Israel di AS, baik dari kubu Demokrat maupun pendukung mantan Presiden Donald Trump.
“Israel harus menyeimbangkan tujuannya secara militer dengan citra internasionalnya. Anda tidak bisa mendapatkan segalanya. Citra global juga bagian dari keamanan nasional,” ungkap Brad Sherman, anggota DPR AS dari Partai Demokrat, dikutip dari CNN.
Penurunan dukungan generasi muda
Krisis dukungan ini terlihat lebih tajam di kalangan pemilih muda. Survei yang sama menunjukkan hanya sembilan persen warga AS berusia 18 hingga 34 tahun yang mendukung tindakan militer Israel. Fenomena ini terjadi di semua spektrum politik, menandakan tantangan besar bagi partai politik AS dalam merespons opini publik.
Partai Demokrat menghadapi tekanan dari sayap progresif dan komunitas Arab-Amerika, yang mendesak perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Israel. Tekanan ini diprediksi akan semakin kuat menjelang pemilu legislatif 2026 dan pemilu presiden 2028.
Di sisi lain, Partai Republik juga menghadapi dilema internal. Basis pendukung gerakan Make America Great Again (MAGA), yang selama ini dianggap solid, mulai menunjukkan perpecahan dalam hal sikap terhadap Israel.
Suara kritis dari kalangan MAGA
Perubahan sikap tidak hanya terjadi di kalangan Demokrat. Tokoh-tokoh utama pendukung Donald Trump mulai mengkritik keras kebijakan AS terhadap Israel. Steve Bannon, mantan penasihat utama Trump, dalam podcast-nya menyatakan bahwa “hampir tidak ada lagi dukungan untuk Israel” di kalangan muda pendukung MAGA.
Bannon juga mempertanyakan arah kebijakan luar negeri AS. “Bahkan mereka yang selama ini mendukung Israel, kini bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi?” ujarnya. Komentar ini memperkuat sinyal bahwa dukungan terhadap Israel tidak lagi menjadi konsensus mutlak di kalangan sayap kanan AS.
Kritik Bannon muncul tak lama setelah Trump menyatakan ketidaksepakatannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dalam sebuah pernyataan publik, Trump membantah klaim Netanyahu bahwa tidak ada kelaparan di Gaza. “Saya melihat sendiri, itu jelas kelaparan. Dan itu tidak bisa dipalsukan,” tegas Trump.
Selain di kalangan Republik, perpecahan internal juga terjadi di Partai Demokrat. Summer Lee, anggota DPR dari Pennsylvania, merupakan satu dari enam anggota parlemen yang mendukung amandemen pemotongan dana pertahanan Israel sebesar 500 juta dollar AS.
Dikutip dari CNN, Lee menyerukan perubahan menyeluruh dalam kebijakan AS terhadap Israel, terutama dalam hal dukungan militer. “Kami tidak bisa terus mendanai aksi militer yang merenggut nyawa warga sipil,” kata Lee.
Dinamika ini mencerminkan perubahan mendalam dalam lanskap politik AS terkait isu Israel-Palestina. Dukungan yang sebelumnya dianggap kokoh mulai mengalami erosi, terutama di kalangan muda dan pemilih progresif.
Pergeseran opini publik ini juga berdampak pada strategi kampanye kedua partai menjelang pemilu mendatang. Isu Palestina diprediksi akan menjadi sorotan utama, mempengaruhi pemilih di negara bagian dengan populasi Arab-Amerika yang signifikan.
Sementara itu, kelompok lobi pro-Israel di AS seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) menghadapi tantangan dalam mempertahankan pengaruh mereka di Kongres dan media. Beberapa analis menilai kekuatan lobi ini mulai melemah seiring berubahnya persepsi publik.
Meskipun demikian, dukungan pemerintah AS secara resmi terhadap Israel masih tetap kuat, terutama dalam bentuk bantuan militer tahunan yang mencapai miliaran dollar. Namun, tekanan domestik untuk merevisi kebijakan ini kian meningkat.
Situasi ini menciptakan ketegangan diplomatik baru antara Washington dan Tel Aviv. Israel dikhawatirkan harus menyesuaikan strategi militernya agar tidak semakin kehilangan dukungan publik internasional, khususnya dari AS.
Sejumlah analis menyebut bahwa pergeseran dukungan ini bisa menjadi titik balik hubungan strategis AS-Israel. Mereka memprediksi akan ada peninjauan ulang terhadap bantuan militer dan dukungan diplomatik di PBB.
Perubahan ini juga membuka ruang bagi kebijakan luar negeri AS yang lebih seimbang terhadap konflik di Timur Tengah, termasuk kemungkinan peningkatan peran dalam mediasi damai.
Penurunan dukungan warga AS terhadap aksi Israel di Gaza menandai titik penting dalam opini publik. Kondisi ini mendorong para pembuat kebijakan di Washington untuk mempertimbangkan ulang sikap mereka terhadap Tel Aviv.
Jika tren ini berlanjut, AS berpotensi merevisi hubungan strategisnya dengan Israel. Hal ini bisa mencakup pengurangan bantuan militer, tekanan diplomatik, atau bahkan sanksi terbatas dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Bagi Israel, citra internasional menjadi isu penting yang tak bisa diabaikan. Dukungan AS bukan hanya soal militer, tetapi juga legitimasi politik di forum global. Tanpa dukungan tersebut, posisi Israel bisa terancam.
Para pengamat menyarankan kedua negara agar membuka jalur dialog yang lebih jujur dan konstruktif. Hubungan AS-Israel perlu disesuaikan dengan realitas geopolitik baru dan suara publik masing-masing negara.
Ke depan, keterlibatan masyarakat sipil dan media dalam membentuk opini tentang kebijakan luar negeri akan semakin menentukan arah hubungan bilateral ini. Keseimbangan antara kepentingan strategis dan nilai kemanusiaan menjadi kunci keberlanjutan kemitraan mereka. (*)
