Jakarta, EKOIN.CO – Harga Minyakita, minyak goreng subsidi dari pemerintah, kembali menjadi sorotan setelah mengalami kenaikan yang signifikan. Berdasarkan pemantauan dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), fenomena ini diduga kuat disebabkan oleh praktik bundling atau penggabungan penjualan Minyakita dengan minyak goreng premium.
Sekretaris Jenderal DPP IKAPPI, Reynaldi Sarijowan, mengungkapkan bahwa dari hasil tinjauannya di berbagai daerah, harga Minyakita kini melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp15.700 per liter. Menurutnya, harga minyak goreng merek pemerintah ini mencapai kisaran Rp16.700 hingga Rp17.000 per liter. Bahkan, di wilayah Timur, khususnya Papua, harganya bisa menembus Rp20.000 per liter.
“Kenaikan harga dirasakan meski nominal tidak terlalu besar, tapi memengaruhi masyarakat secara luas,” kata Reynaldi dalam keterangan tertulisnya pada Rabu, 27 Agustus 2025. Reynaldi melanjutkan, “Fenomena ini tidak logis karena Indonesia adalah produsen sawit terbesar, namun tetap sulit mendapatkan minyak goreng terjangkau di dalam negeri.”
Sebelumnya, dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang berlangsung di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, pada Senin, 25 Agustus 2025, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti juga menyampaikan bahwa sebanyak 413 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga Minyakita pada pekan ketiga Agustus 2025. Ia menambahkan, di Kabupaten Pegunungan Bintang, harganya bahkan mencapai Rp50.000 per liter.
Reynaldi menjelaskan lebih rinci bahwa dalam praktiknya, pedagang hanya bisa mendapatkan pasokan Minyakita jika mereka juga membeli minyak goreng premium. “Di pasar ditemukan praktik bundling, pedagang hanya bisa mengambil minyak kita jika juga membeli minyak premium,” ungkap Reynaldi. Ia juga menyinggung beberapa distributor yang ikut menaikkan harga sehingga harga di tingkat konsumen menjadi semakin tinggi.
Reynaldi menekankan bahwa stok minyak goreng di pasaran sebenarnya tersedia. Namun, ia melihat adanya masalah pada sistem distribusi yang melibatkan rantai panjang mulai dari distributor pertama (D1) hingga distributor ketiga (D3) sebelum sampai ke pasar, yang pada akhirnya menaikkan harga.
Oleh karena itu, Reynaldi meminta agar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2024 terkait tata kelola minyak kita dari hulu ke hilir dievaluasi kembali. “Tingkatkan peran dan tanggung jawab BUMN dalam memproduksi serta mendistribusikan minyak kita,” ujarnya. Ia meyakini, dengan meningkatnya peran BUMN, pengawasan dan kontrol distribusi akan menjadi lebih efektif.
“Swasta cenderung sulit dikontrol, baik dari sisi produksi maupun distribusi, dan sering terjadi praktik bundling atau distributornya menambah harga,” cetusnya. Reynaldi menambahkan bahwa dengan peran BUMN yang lebih besar, pemerintah akan lebih mudah mengendalikan harga dan distribusi, serta dapat menekan praktik bundling antara minyak bersubsidi dan produk premium.










