Jakarta, EKOIN.CO – Industri baja nasional tengah menghadapi tekanan serius akibat banjir baja impor yang membanjiri pasar domestik. Kondisi ini telah memukul pabrik dalam negeri hingga menyebabkan gulung tikar, salah satunya pabrik baja di Surabaya yang resmi berhenti beroperasi sejak 2024. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran besar terhadap keberlangsungan ribuan pekerja yang bergantung pada sektor baja.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ketua Umum Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) Budi Harta Winata menyebutkan, pabrik Ispatindo di Surabaya menjadi korban pertama dari serbuan baja impor. Menurutnya, ribuan karyawan harus kehilangan mata pencaharian sejak penutupan tahun lalu.
“Ispatindo, Surabaya (tutup). (Karyawan yang terdampak) ribuan. Dari tahun lalu 2024 (tutup),” kata Budi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 12 September.
Dampak Baja Impor
Selain Surabaya, ancaman penutupan juga menghantui sebuah pabrik di Bekasi, Jawa Barat. Budi menyebut, informasi yang beredar menyatakan pabrik tersebut sudah berada di ambang gulung tikar. “Yang di Bekasi juga sudah mau tutup katanya tuh,” ujarnya.
Masuknya baja impor dalam jumlah besar dinilai telah menggerus daya saing produsen lokal. Harga yang lebih murah membuat produk baja dalam negeri sulit terserap pasar, padahal sektor ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Budi menilai, kondisi ini diperparah oleh tren investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) yang tak memberikan manfaat signifikan bagi ekonomi nasional.
Ancaman Hilangnya Pekerjaan
Menurut Budi, berbeda dengan dulu, saat investasi baru masuk biasanya banyak melibatkan pelaku usaha lokal untuk membangun pabrik. Kini, investasi asing cenderung berdiri sendiri tanpa memberikan pekerjaan bagi kontraktor dalam negeri. “Artinya, dengan ada investasi dalam hal ini, kita enggak dapat kerjaan apa-apa juga. Nonton doang aja,” ungkapnya.
Jika persoalan baja impor ini tidak segera ditangani, Budi memperingatkan risiko lebih besar. Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa meluas, termasuk hilangnya mata pencaharian para welder dan pekerja konstruksi baja yang telah lama digembleng industri dalam negeri.
“Dampaknya adalah kehilangan mata pencarian para welder-welder yang selama ini kerja bersama kami. Kehilangan para pekerja-pekerja khususnya di bidang konstruksi baja. Karena di kami, 98 persen karyawan itu kami didik dari nol,” jelas Budi.
Ia menambahkan, perusahaan tempatnya bekerja ibarat Balai Latihan Kerja (BLK) karena banyak melatih tenaga kerja baru. Namun, dengan derasnya arus baja impor, para pekerja tersebut kini kehilangan ladang pekerjaan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa industri baja nasional membutuhkan perlindungan lebih kuat agar tetap dapat bersaing di tengah gempuran impor. Tanpa langkah nyata, dikhawatirkan semakin banyak pabrik baja akan mengikuti jejak gulung tikar. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










