Jakarta EKOIN.CO – Penempatan dana Rp 200 triliun oleh pemerintah ke bank-bank Himbara memicu kekhawatiran bahwa langkah itu justru membebani profitabilitas perbankan, meski niatnya untuk menambah likuiditas.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Penempatan dana tersebut diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 dan bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL). Pemerintah menempatkan sebagian SAL dalam bentuk deposito on call kepada bank-bank Himbara dengan bunga yang diumumkan setara 80,476 persen dari BI rate atau 4,02 persen.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kondisi perbankan saat ini bukan kekurangan likuiditas namun kelebihan pasokan dana. Menurutnya, memasukkan dana berbunga tinggi pada situasi permintaan kredit yang lemah dapat menjadi beban bagi bank, bukan stimulus.
“Ini dana mahal. Bandingkan dengan giro on call yang berbunga nol persen, atau deposito berjangka yang hanya 2,5 persen sampai 3,5 persen. Alih-alih mendorong kredit, justru bisa menekan profitabilitas bank,” kata Wijayanto yang merupakan bagian dari Aliansi Ekonom Indonesia, Minggu (14/9/2025).
Wijayanto memperingatkan bahwa bila dunia usaha belum siap ekspansi, tambahan dana akan sulit terserap ke kredit produktif. Ia memperkirakan sebagian dana berisiko dipakai untuk refinancing kredit yang sudah ada atau diparkir ke instrumen aman seperti SRBI atau Surat Berharga Negara (SBN).
Penggunaan SAL untuk penempatan sebesar itu juga menimbulkan pertanyaan fiskal. Wijayanto mengingatkan bahwa SAL selama ini menjadi penyangga belanja APBN pada awal tahun; bila SAL tersisa relatif kecil, risiko shortfall penerimaan negara pada 2025–2026 dapat meningkat.
Risiko Likuiditas pada Profitabilitas Bank
Perbandingan bunga menjadi sorotan: bunga penempatan 4,02 persen relatif tinggi dibandingkan alternatif pasar seperti giro on call yang hampir nol persen atau deposito ritel 2,5–3,5 persen. Dalam praktiknya, bank yang menerima dana harus membayar bunga ke pemilik dana — pemerintah — sehingga margin bunga bersih dapat tertekan jika penyaluran kredit tidak menguat.
Di sisi operasional, jika bank memilih memakai dana itu untuk refinancing portofolio lama, efeknya bukan ekspansi kredit baru. Dana jadi berputar di dalam neraca tanpa mendorong kredit sektor riil, sementara beban bunga baru menekan laba bank ke depan.
Sinkronisasi Likuiditas dan Permintaan Kredit
Para ekonom menekankan bahwa solusi efektif bukan sekadar menambah likuiditas, melainkan memperbaiki permintaan — lewat kebijakan yang mengerek konsumsi dan iklim investasi. Bila permintaan riil tidak pulih, setiap tambahan likuiditas akan menghadapi kendala penyerapan dan akhirnya hanya mengubah struktur aset bank tanpa memberi banyak manfaat ekonomi.
Penempatan dana oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melalui KMK No. 276/2025 dipandang sebagai langkah administratif untuk memanfaatkan SAL. Namun para pengamat meminta agar pemerintah juga mengkaji mekanisme distribusi, besaran yang benar-benar dibutuhkan sektor perbankan, serta skema pengawasan untuk memastikan dana mendorong kredit produktif.
Untuk saat ini, risiko utama yang disorot adalah mismatch antara keberadaan dana dan rendahnya permintaan kredit. Jika bank lebih memilih instrumen aman ketimbang menyalurkan pinjaman baru, tujuan kebijakan fiskal itu untuk mendorong ekonomi riil akan sulit tercapai.
Secara ringkas, kebijakan penempatan Rp 200 triliun ke Himbara mengandung potensi menekan profitabilitas bank dan tidak otomatis memperbaiki kondisi sektor riil tanpa kebijakan pendukung yang menggenjot permintaan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
( * )










