Jakarta, ekoin.co – Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman menampik sejumlah isu yang beredar di masyarakat soal dampak negatif Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan DPR.
Salah satunya tentang klausul ‘keadaan mendesak’ pada sejumlah pasal, seperti pasal 113, 120, dan 140 tentang Kepolisian. Sejumlah aktivis menganggap klausul itu rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan.
“Ini (keadaan mendesak) sebetulnya sama persis dengan pengaturan di KUHAP lama. So, mengapa sekarang ada tuntutannya tolak pengesahan KUHAP baru? (itu) berarti KUHAP lama nanti yang berlaku, ya sama aja. Kecuali yang terkait tenggat waktu penyitaan lima hari kerja itu memang masukan banyak ke kita (DPR),” kata politikus Gerindra yang akrab disapa Habib saat berbincang dengan Eddy Wijaya yang tayang dalam podcast EdShareOn pada Rabu, 3 Desember 2025, yang dikutip Kamis (5/12).
Menurut Habib, dalam proses penyidikan, keadaan mendesak merupakan hal yang biasa terjadi, sehingga diperlukan aturan yang dapat membenarkan para penyidik melakukan tindakan tersebut.
“(Keadaan mendesak) di antaranya kesulitan mengakses ketua pengadilan negeri karena adanya macam-macam (kendalanya). Itu kita bisa toleransi, selain penyitaan, 2 hari setelah itu harus ada pemblokiran dan lain sebagainya. Kalau penyitaan itu 5 hari karena lebih susah,” ucapnya.
DPR RI telah mengesahkan KUHAP baru pengganti Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (KUHAP lama), pada 18 November 2025.
KUHAP baru tersebut banyak menuai kontroversi salah satunya karena klausul ‘keadaan mendesak’ mengenai penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran.
Semua itu bisa dilakukan tanpa adanya izin dari ketua pengadilan dengan dalih tersebut. Kendati demikian ketua pengadilan harus dimintai persetujuan paling lambat lima hari kerja.
Habib mengatakan, keadaan mendesak dalam KUHAP baru tidak dapat dilakukan sembarangan. Oleh karenanya, bisa diuji melalui proses pra peradilan.
“Pra peradilan lah nanti yang akan menilai. Kalau nggak memenuhi keadaan mendesak ya, dibatalkan. Jadi warga negara tetap punya hak untuk mempersoalkan ini,” kata dia.
Dalam KUHAP baru pasal 27, Habib menjelaskan, penyelidik maupun penyidik juga dapat dikenai sanksi bila melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya atau melampaui kewenangannya. Salah satunya dalam menafsirkan ‘keadaan mendesak’ dalam proses penyitaan.
“Bisa diproses secara administrasi, etik, bahkan pidana. Pengaturan ini nggak ada kan, di KUHAP lama? kalau diragukan, itu ada (aturannya). Protokol yang sangat baru ini yang menurut saya sangat revolusioner,” kata alumni Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret tersebut.
Jebolan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu berharap masyarakat lebih mendalami aturan-aturan yang berlaku dan tidak menyebarkan isu-isu negatif yang tidak sesuai bukti.
“Ini (KUHAP baru) kan, jelas, ada di website. Makanya, ya, dibaca dong, diikuti dong live streamingnya (pembahasan RUU KUHAP). Ini multitafsir di mana? Dan ini sama persis dengan KUHAP lama, loh,” ucapnya.
KUHAP Baru Tidak Jadikan Kepolisian Lembaga Superpower
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman menyinggung kekhawatiran masyarakat soal kepolisian akan menjadi lembaga superpower dalam KUHAP baru.
Menurutnya, kewenangan kepolisian dalam KUHAP baru telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“(Pengkritik KUHAP baru) bilang ini menguatkan polisi, superpower polisi dengan undang-undang KUHAP. (Tapi) soal penyidik ini ya, acuannya kita penegakan hukum itu di konstitusi kita, pasal 30 ayat 4 UUD 1945. Kalau di situ, penegak hukum satu-satunya adalah polisi,” kata Habib kepada Eddy Wijaya.
Politikus kelahiran Metro, Lampung, 17 September 1974 itu menegaskan KUHAP baru masih menjadikan polisi sebagai penyidik utama, namun mengakomodasi diangkatnya penyidik dari institusi lain.
“KUHAP lama lebih parah lagi pengaturannya, tidak ada penyidik tertentu tapi kok, nggak dianggap urgen? Kemana aja 44 tahun? (berlakunya KUHAP lama),” katanya. (*)










