Jakarta, Ekoin.co – Tim Penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) menetapkan IKL, Presiden Direktur PT Sritex Group Indonesia dan mantan Wakil Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk, sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit dari PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) serta PT Bank DKI Jakarta kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk dan entitas anak usaha. Penetapan tersangka dilakukan pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Langkah hukum ini dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-62/F.2/Fd.2/10/2024 tanggal 25 Oktober 2024, yang kemudian diperbarui melalui beberapa surat perintah lanjutan hingga Mei 2025. Terbaru, penetapan tersangka dikeluarkan melalui Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-62/F.2/Fd.2/08/2025 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRIN-66/F.2/Fd.2/08/2025 tertanggal 13 Agustus 2025.
IKL diduga terlibat langsung dalam sejumlah proses pengajuan dan pencairan kredit yang tidak sesuai peruntukan. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk periode 2012 hingga 2023, ia menandatangani Surat Permohonan Kredit Modal Kerja dan Investasi kepada Bank Jateng pada tahun 2019 yang peruntukannya tidak sesuai.
Selain itu, pada tahun 2020, IKL menandatangani akta perjanjian kredit dengan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten yang peruntukannya diduga tidak sesuai isi perjanjian. Beberapa surat permohonan penarikan kredit juga ditandatangani dengan melampirkan invoice dan faktur yang diduga fiktif.
Dugaan Kerugian Negara
Berdasarkan hasil penyidikan sementara, pemberian kredit yang dilakukan secara melawan hukum oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, PT Bank DKI Jakarta, serta PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah kepada PT Sritex mengakibatkan kerugian keuangan negara yang diperkirakan mencapai Rp1.088.650.808.028. Nilai ini masih dalam proses finalisasi perhitungan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Penyidik menilai terdapat cukup bukti bahwa proses kredit yang diajukan tidak digunakan sesuai tujuan sebagaimana tercantum dalam perjanjian, melainkan dialihkan untuk kepentingan yang bertentangan dengan ketentuan perbankan.
Atas dugaan tersebut, IKL disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Proses Penahanan
Sebagai bagian dari proses hukum, IKL ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Penahanan ini dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: 54/F.2/Fd.2/08/2025 tertanggal 13 Agustus 2025.
Pihak Kejaksaan menyatakan penahanan ini untuk mencegah tersangka menghilangkan barang bukti atau mempengaruhi saksi. Langkah ini juga sebagai bagian dari upaya percepatan proses penyidikan.
Kejaksaan Agung menegaskan bahwa penyidikan kasus ini masih terus berkembang dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka lain yang akan ditetapkan.
Berdasarkan keterangan resmi, penyidik telah memeriksa sejumlah dokumen dan bukti pendukung yang menguatkan dugaan keterlibatan tersangka.
Kejaksaan juga telah memanggil beberapa pihak terkait, baik dari internal PT Sritex maupun pihak bank, untuk memberikan keterangan dalam rangka melengkapi berkas perkara.
Proses penyidikan akan mencakup pemeriksaan lebih lanjut atas aliran dana kredit yang diterima, guna memastikan penggunaannya dan mengidentifikasi potensi pihak lain yang terlibat.
Kasus ini mendapat perhatian publik mengingat PT Sritex merupakan salah satu perusahaan tekstil besar di Indonesia yang memiliki jaringan produksi dan pemasaran luas, baik di dalam maupun luar negeri.
Kejaksaan berkomitmen untuk menuntaskan perkara ini secara transparan dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tanpa intervensi pihak manapun.
Hasil penyidikan yang komprehensif diharapkan dapat memberikan kepastian hukum serta menjadi pembelajaran bagi dunia perbankan dan korporasi agar tidak mengulangi praktik serupa.
Sebagai saran, penting bagi lembaga keuangan untuk memperketat verifikasi permohonan kredit, termasuk pemeriksaan lapangan yang menyeluruh terhadap penggunaan dana.
Selain itu, perusahaan penerima fasilitas kredit perlu mematuhi seluruh ketentuan dalam perjanjian agar terhindar dari potensi pelanggaran hukum yang merugikan negara.
Kerja sama antara otoritas penegak hukum, lembaga pengawas keuangan, dan sektor perbankan menjadi kunci dalam mencegah kasus serupa di masa depan.
Masyarakat juga diharapkan proaktif melaporkan dugaan pelanggaran atau penyimpangan dalam pengelolaan dana publik agar proses penegakan hukum dapat berjalan lebih efektif.
Dengan langkah hukum yang tegas, diharapkan tercipta iklim bisnis dan perbankan yang sehat serta transparan di Indonesia.










