Jakarta,ekoin.co – Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak meminta media massa tidak mengekspos kekurangan pemerintah dalam penanganan bencana di sejumlah wilayah Sumatera.
Pernyataan tersebut disampaikan di tengah sorotan publik terhadap keterbukaan informasi bencana serta kritik dari organisasi pers mengenai dugaan pembatasan pemberitaan.
Maruli mengakui adanya berbagai kekurangan dalam penanganan bencana, namun meminta agar hal tersebut disampaikan langsung kepada pemerintah dan aparat, bukan melalui pemberitaan media.
“Kalau ada hal kekurangan pasti banyak kekurangan. Tolong informasikan kami kekurangan itu, jangan diekspose lewat media,” ujar Maruli di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Menurut Maruli, prajurit TNI saat ini bekerja membantu penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ia menyebut tiga anggota TNI meninggal dunia saat menjalankan tugas kemanusiaan.
“Anggota saya tiga orang meninggal. Ada dua keluarga yang suaminya meninggalkan rumah, keluarganya habis anak istrinya,” katanya.
Ia menegaskan para prajurit telah bekerja siang dan malam, termasuk dalam kondisi hujan dan medan berat. Namun, upaya tersebut dinilai lamban oleh sebagian pihak.
“Sudah bekerja siang malam, kehujanan tengah malam seperti itu, terus dibilangnya lambat,” ujarnya.
Maruli menilai pemerintah dan aparat membutuhkan dukungan media dalam situasi bencana. Ia meminta kerja sama antara media dan aparat dengan menyampaikan informasi langsung ke TNI agar penanganan dapat diperbaiki.
“Kita harus bekerja sama, kita harus kompak semua. Kasihan yang terkena bencana, kondisinya memang rumit,” kata Maruli.
Di sisi lain, pada hari yang sama, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyampaikan pernyataan sikap terkait dugaan pembatasan informasi bencana di Sumatera.
KKJ menilai telah terjadi pembatasan informasi secara masif dan sistematis dalam beberapa hari terakhir, yang dinilai mengancam kemerdekaan pers, hak publik atas informasi, serta keselamatan warga di tengah kondisi darurat.
Dalam siaran pers yang diterima media, KKJ mengungkap sejumlah peristiwa yang dianggap mencerminkan pola pembungkaman informasi, mulai dari intimidasi aparat TNI terhadap jurnalis Kompas yang meliput bantuan internasional, penghapusan pemberitaan bencana di detik.com, hingga penghentian siaran dan sensor diri CNN Indonesia TV saat melaporkan langsung dari lokasi bencana.
KKJ menilai laporan-laporan tersebut memuat kondisi faktual di lapangan yang bertolak belakang dengan narasi resmi pejabat negara. Karena itu, rangkaian peristiwa tersebut dipandang sebagai upaya pengendalian arus informasi publik dan penutupan fakta bencana.
KKJ menegaskan bahwa intimidasi dan pembatasan terhadap jurnalis merupakan serangan langsung terhadap kemerdekaan pers yang dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tindakan tersebut berpotensi memenuhi unsur pidana menghalang-halangi kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers.
Selain itu, KKJ menilai pembatasan pemberitaan bencana juga melanggar Pasal 28F UUD 1945 tentang hak memperoleh dan menyampaikan informasi.
Dalam konteks bencana, pembatasan ini dinilai tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam keselamatan publik karena masyarakat tidak memperoleh gambaran utuh mengenai situasi darurat.
Atas dasar itu, KKJ mendesak Presiden RI untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada jurnalis yang mengalami intimidasi, menjamin perlindungan penuh terhadap kerja pers di wilayah bencana, serta memastikan publik memperoleh informasi yang akurat dan faktual.
KKJ juga meminta Dewan Pers dan perusahaan media bersikap tegas menolak segala bentuk sensor, pembatasan, maupun pengaburan informasi terkait bencana di Sumatera.










