JAKARTA, EKOIN.CO- Kinerja sektor manufaktur Indonesia mengalami tekanan pada bulan Juni 2025. Tekanan ini tercermin dari indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) yang kembali mengalami kontraksi.
Penurunan PMI Indonesia tercatat dari 47,4 pada Mei menjadi 46,9 pada Juni 2025. Angka tersebut mencerminkan pelemahan aktivitas manufaktur secara nasional.
Sebagaimana dilansir dari keterangan resmi Kementerian Perindustrian, penyebab utama penurunan ini adalah ketidakpastian kebijakan pro-bisnis dan menurunnya daya beli serta permintaan pasar.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, menyampaikan bahwa dua faktor tersebut menjadi sorotan utama dalam evaluasi kinerja sektor manufaktur saat ini.
“Dua faktor yang menyebabkan PMI Indonesia masih kontraksi yakni, pertama perusahaan industri masih menunggu kebijakan pro bisnis, dan kedua pelemahan permintaan pasar ekspor dan domestik serta penurunan daya beli,” ujar Febri di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Pengusaha Tunggu Empat Kebijakan Industri
Febri menyebutkan bahwa pada bulan lalu, kalangan industri menantikan kebijakan yang mampu memberikan perlindungan terhadap pasar domestik.
Kebijakan utama yang ditunggu-tunggu adalah perlindungan terhadap gempuran produk jadi impor murah yang dinilai merugikan produk dalam negeri.
Harapannya, regulasi yang ketat mampu mempersempit akses barang impor murah yang menyulitkan penyerapan produk lokal.
Di tengah lemahnya daya beli, para pelaku industri berharap regulasi tersebut bisa menciptakan ruang lebih luas untuk produk lokal bertahan di pasar nasional.
Salah satu kebijakan yang dimaksud adalah revisi terhadap Permendag No. 8 Tahun 2024, terutama terkait relaksasi impor produk jadi.
Dampak Kebijakan Dirasakan Dua Bulan Mendatang
Kebijakan pencabutan relaksasi impor diumumkan pemerintah pada Senin, 30 Juni 2025, melalui paket Deregulasi dan Kemudahan Berusaha.
Langkah ini dinilai membawa sinyal positif bagi industri, khususnya pada sektor tekstil, pakaian jadi, dan aksesoris.
Namun, dampaknya diperkirakan baru akan terasa dua bulan setelah kebijakan resmi diumumkan kepada publik.
“Kami menduga dampak pencabutan relaksasi impor terutama pada produk tekstil, pakaian jadi dan aksesoris akan dirasakan dua bulan mendatang,” jelas Febri.
Ia menambahkan bahwa pelaku industri TPT dan Pakaian Jadi tetap bersabar menanti dampak kebijakan yang tengah berjalan tersebut.
Entry Port dan Perjanjian Perdagangan
Selain revisi kebijakan impor, para pengusaha juga menantikan pengaturan kembali pintu masuk (entry port) untuk barang impor.
Produk-produk murah selama ini masuk melalui berbagai pelabuhan, memperbesar persaingan terhadap produk lokal.
“Pembatasan entry port bagi produk impor jadi sangat penting terutama bagi industri yang sulit bersaing dengan produk dari negara produsen oversupply,” ujar Febri.
Kebijakan pembatasan pelabuhan masuk ini diharapkan mampu meningkatkan permintaan terhadap produk buatan Indonesia.
Tak hanya itu, pelaku industri ekspor juga sangat menantikan penandatanganan perjanjian dagang IEU-CEPA.
IEU-CEPA dan Akses Pasar Eropa
IEU-CEPA atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement menjadi harapan baru bagi sektor industri ekspor.
Perusahaan manufaktur berorientasi ekspor melihat peluang besar setelah adanya kesepakatan ini.
“Perusahaan Industri menunggu penandatanganan IEU-CEPA. Mereka optimis pasar Eropa akan terbuka lebar,” tegas Febri.
Di tengah tekanan global, pasar Eropa dinilai sebagai solusi ekspansi yang menjanjikan bagi produk ekspor Indonesia.
Industri berharap, perjanjian ini bisa segera terealisasi agar penetrasi pasar ke Eropa berjalan maksimal.
Daya Beli Lemah dan Pasar Terbatas
Selain persoalan kebijakan, sektor manufaktur juga terhimpit oleh lemahnya daya beli masyarakat.
Penurunan daya beli membuat konsumsi terhadap produk manufaktur mengalami pelambatan, terutama produk sekunder.
“Faktor pasar terutama penurunan permintaan ekspor dan domestik menyebabkan turunnya kinerja manufaktur,” terang Febri.
Bahkan, kelompok menengah ke atas lebih memilih menyimpan atau menginvestasikan dana dibanding membeli produk manufaktur.
Hal ini menyebabkan tekanan bertumpuk pada sektor manufaktur yang menggantungkan penjualan pada pasar domestik.
Proyek Pemerintah dan Insentif Sekolah
Kementerian Perindustrian menyampaikan bahwa belanja pemerintah mulai terasa sejak pertengahan Juni 2025.
Belanja infrastruktur memberi dampak langsung pada industri keramik, kaca, semen, besi, dan baja.
Pemerintah juga memberi insentif pada masa libur sekolah yang turut memicu permintaan sektor tertentu.
Insentif tersebut dinikmati oleh industri makanan, minuman, kertas, tekstil, serta pakaian jadi.
Febri mengapresiasi kebijakan insentif pemerintah yang berdampak pada peningkatan utilisasi dan penyerapan tenaga kerja.
Proyeksi Ekonom dan Outlook Industri
Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, turut memberikan tanggapan terhadap pelemahan PMI Indonesia.
Menurutnya, kondisi manufaktur Indonesia makin lemah karena rendahnya permintaan yang berdampak pada produksi dan penjualan.
“Penurunan penjualan sebagian besar dari pasar domestik,” ujar Bhatti.
Hal ini memaksa perusahaan untuk menjalankan strategi penghematan termasuk pengurangan tenaga kerja dan pembelian.
Ia menambahkan bahwa kepercayaan diri pelaku industri menurun ke titik terendah dalam delapan bulan terakhir.
Kontraksi di Negara ASEAN dan Dunia
PMI manufaktur tak hanya menurun di Indonesia, namun juga terjadi di negara ASEAN lain.
Malaysia mengalami penurunan dari 48,8 menjadi 48,6, Thailand dari 49,9 ke 49,5, dan Vietnam dari 50,5 ke 45,6.
Singapura pun mencatatkan penurunan dari 50,6 menjadi 49,6, menunjukkan tekanan serupa pada kawasan regional.
Negara-negara industri seperti Inggris (47,7), Prancis (47,8), Korea Selatan (48,7), dan Jerman (49,0) juga mencatatkan kontraksi.
Data tersebut memperlihatkan pelemahan global turut menekan sektor industri dalam negeri Indonesia.(*)
Berlangganan gratis WANEWS EKOIN lewat saluran WhatsUp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










