JAKARTA, EKOIN.CO – Pernyataan tegas Jaksa Agung ST. Burhanuddin mengenai penegakan hukum yang setara dan tidak tebang pilih kini menuai sorotan tajam, menyusul skandal dugaan penilapan barang bukti (barbuk) kasus investasi bodong Fahrenheit. Skandal ini menyeret sejumlah jaksa aktif dan mantan pejabat di lingkungan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat.
Dalam peresmian Gedung Baru Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan, Kamis (3/7/2025), Jaksa Agung menekankan pentingnya integritas dalam proses hukum. Ia menyatakan, “Penegakan hukum harus setara dan tidak tebang pilih. Kepercayaan publik merupakan modal utama dalam keberhasilan kinerja.”
Namun, fakta di lapangan menunjukkan indikasi inkonsistensi. Sejumlah pejabat Kejari Jakbar yang disebut dalam dakwaan terkait kasus Fahrenheit hingga kini belum tersentuh proses hukum yang jelas, meskipun nama mereka tercantum dalam dakwaan eks Jaksa Azam Akhmad Akhsya.
Aliran Dana Mencurigakan dari Kasus Fahrenheit
Dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh Penuntut Umum, terungkap adanya aliran dana signifikan kepada beberapa pejabat kejaksaan. Jaksa Dodi Gazali Emil, yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Harian Kasi Pidum Kejari Jakbar, disebut menerima Rp300 juta dari terdakwa Azam Akhmad Akhsya pada Desember 2023.
Masih pada bulan yang sama, Hendri Antoro selaku Kajari Jakbar disebut menerima Rp500 juta yang diberikan melalui Dodi. Dana serupa juga diterima oleh Iwan Ginting, mantan Kajari Jakbar, sebesar Rp500 juta. Penyerahan dilakukan di Mall Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, disaksikan oleh Jaksa Sunarto.
Selain itu, dalam dakwaan juga disebutkan bahwa Sunarto yang menjabat sebagai Kasipidum saat itu menerima Rp450 juta melalui transfer ke rekening atas nama Ruslan. Adib Adam, Kasipidum lainnya, disebut menerima Rp300 juta dalam bentuk tunai.
Jaksa Indra, yang menjabat sebagai Kasubsi Pratut, disebut menerima Rp200 juta melalui transfer ke rekening atas nama Baroto di Bank BCA. Tak hanya itu, staf Kejari Jakbar juga dikabarkan menerima dana sekitar Rp150 juta, baik melalui transfer maupun secara tunai.
Kontradiksi Pernyataan dan Fakta Lapangan
Meski fakta-fakta tersebut muncul dalam persidangan, belum terlihat adanya langkah konkret dari Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik dan pidana dari para pejabat tersebut. Hal ini memunculkan pertanyaan publik terhadap komitmen Jaksa Agung dalam menegakkan supremasi hukum tanpa diskriminasi.
Jaksa Agung sendiri menyatakan pentingnya pendampingan hukum untuk pemerintah daerah, guna memastikan pelaksanaan pembangunan berjalan tepat waktu, mutu, dan sasaran. Ia menyampaikan, “Gedung megah hanyalah alat. Yang terpenting bagaimana kita menjadikannya sebagai nilai tambah untuk meningkatkan kinerja dan kepercayaan publik.”
Namun pernyataan itu menjadi sorotan, mengingat belum adanya langkah nyata dalam menyelesaikan kasus yang melibatkan oknum di internal lembaga tersebut. Padahal, transparansi dan konsistensi dalam menangani kasus internal menjadi indikator penting dalam menjaga citra dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum.
Dalam beberapa kesempatan, Jaksa Agung mengimbau seluruh Kepala Daerah untuk memanfaatkan layanan pendampingan hukum dari kejaksaan demi pelaksanaan pembangunan yang bersih dan akuntabel. Seruan ini, meski relevan, menjadi ironis di tengah minimnya tindakan terhadap pelanggaran di tubuh kejaksaan sendiri.
Sementara itu, belum ada pernyataan resmi dari pihak-pihak yang namanya disebut dalam surat dakwaan. Proses hukum terhadap terdakwa Azam Akhmad Akhsya masih berjalan, namun tuntutan agar Kejaksaan Agung mengambil sikap atas dugaan keterlibatan internal terus menguat.
Masyarakat dan pengamat hukum mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap integritas jaksa-jaksa yang terlibat. Terlebih, jika benar dana yang diterima tersebut berasal dari barang bukti kasus Fahrenheit, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana serius.
Skandal ini menguji kredibilitas Kejaksaan Agung di tengah upaya pemerintah membangun citra lembaga penegak hukum yang bersih. Langkah Jaksa Agung berikutnya dalam menyikapi kasus ini akan menjadi tolok ukur konsistensi komitmennya yang selama ini digaungkan di ruang publik.
Jika tidak ada tindak lanjut, dikhawatirkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kejaksaan akan terus menurun. Penyelesaian kasus ini bukan hanya menyangkut individu, tetapi menyangkut marwah dan kehormatan institusi penegak hukum itu sendiri.
Selain itu, keterbukaan informasi terkait penanganan internal juga diperlukan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan tanpa intervensi atau perlakuan istimewa, terutama terhadap aparat penegak hukum sendiri.
Sebagai kesimpulan, penanganan kasus Fahrenheit menjadi titik krusial dalam penegakan hukum yang adil dan transparan di Indonesia. Masyarakat menunggu langkah tegas Kejaksaan Agung dalam menindak jajarannya yang terindikasi menyimpang dari hukum.
Kejaksaan Agung sepatutnya segera menindaklanjuti temuan dalam surat dakwaan kasus Fahrenheit. Proses klarifikasi internal dan penyelidikan harus dibuka dan diumumkan ke publik untuk menjaga akuntabilitas.
Langkah ini akan membuktikan bahwa komitmen yang selama ini disampaikan Jaksa Agung bukan sekadar pernyataan seremonial, tetapi benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata. Dengan begitu, integritas institusi bisa tetap dijaga.
Penting juga bagi Kejaksaan Agung untuk membuat sistem pelaporan dan pengawasan internal yang lebih kuat. Tujuannya adalah agar potensi penyelewengan oleh aparat kejaksaan bisa dicegah sejak dini.
Selain pengawasan internal, perlu ada kolaborasi dengan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Kejaksaan atau bahkan KPK untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan dalam penanganan kasus.
Masyarakat berhak mendapatkan proses hukum yang adil dan transparan dari institusi penegak hukum. Kepercayaan publik terhadap lembaga kejaksaan akan pulih jika lembaga ini menunjukkan ketegasannya terhadap pelanggaran di internalnya.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










