Jakarta, Ekoin.co – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual untuk menyetujui dua permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif pada Selasa, 12 Agustus 2025. Keputusan ini diambil sebagai bagian dari komitmen Kejaksaan Agung dalam menegakkan hukum dengan mengedepankan pendekatan kemanusiaan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Salah satu perkara yang mendapat persetujuan penyelesaian melalui keadilan restoratif adalah kasus yang melibatkan Tersangka Aloysius Dalo Odjan alias Jeri dan Marianus Liufung Lusanto alias Jonli dari Kejaksaan Negeri Flores Timur. Keduanya disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) jo Pasal 76C Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan atau denda hingga Rp72 juta.
Peristiwa tersebut terjadi pada 14 Juni 2025, sekitar pukul 00.54 WITA di Pantai Lamawalang, Kabupaten Flores Timur. Saat itu korban, Thomas Pito Tereng (15), tengah berbincang dengan temannya di acara pesta sambut baru. Ketegangan bermula ketika Tersangka I menampar teman korban, yang memicu korban untuk menahan tindakan tersebut. Situasi memanas hingga berujung pada kekerasan fisik.
Tersangka I menendang punggung korban dan memukul kepalanya beberapa kali. Sementara itu, Tersangka II memukul dahi korban hingga terjatuh ke air. Bahkan, Tersangka II masih menampar wajah korban ketika korban hendak pulang. Hasil visum dari RSUD dr. Hendrikus Fernandez menunjukkan korban mengalami luka memar dan lecet di beberapa bagian tubuh.
BACA JUGA
Tiga Tokoh Penting Diperiksa Kejagung, Kasus Korupsi Minyak Pertamina Makin Terang.
Pada 4 Agustus 2025, proses perdamaian dilaksanakan. Kedua tersangka mengakui perbuatannya, menyatakan penyesalan, dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Korban dan keluarganya menerima permintaan maaf tanpa syarat. Proses tersebut dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun.
Berdasarkan pertimbangan yuridis dan sosiologis, Kejati NTT mengajukan penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif yang kemudian disetujui oleh JAM-Pidum. Kepala Kejaksaan Negeri Flores Timur Teddy Rorie bersama Kasi Pidum sekaligus Jaksa Fasilitator I Nyoman Sukrawan menjadi inisiator penyelesaian perkara ini.
Kasus Kedua yang Disetujui
Selain perkara tersebut, JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaian perkara yang melibatkan Tersangka Angga bin Bastari dari Kejaksaan Negeri Muara Enim. Ia disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Alasan pemberian penghentian penuntutan melalui keadilan restoratif ini meliputi beberapa poin. Di antaranya adalah adanya proses perdamaian, permintaan maaf dari tersangka yang diterima korban, serta kesepakatan untuk tidak membawa perkara ke persidangan. Selain itu, tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan ancaman pidananya tidak melebihi lima tahun.
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan atau intimidasi. Pertimbangan sosiologis juga menjadi faktor penting, ditambah dengan respon positif dari masyarakat terhadap penyelesaian ini.
JAM-Pidum menegaskan bahwa mekanisme keadilan restoratif memberikan manfaat besar bagi korban, pelaku, dan masyarakat. Menurutnya, penyelesaian perkara di luar persidangan dapat mempercepat kepastian hukum sekaligus menjaga hubungan sosial.
Instruksi ke Kejaksaan Negeri
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022,” ujar JAM-Pidum. Hal ini, lanjutnya, merupakan bentuk perwujudan kepastian hukum.
Mekanisme ini diharapkan dapat menjadi alternatif penyelesaian perkara pidana yang lebih humanis, tanpa mengabaikan rasa keadilan bagi korban. Kejaksaan menilai, dalam kasus tertentu, langkah ini lebih memberikan manfaat daripada proses persidangan panjang yang berpotensi menambah beban psikologis korban.
Langkah penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif juga dinilai mampu mengurangi kepadatan perkara di pengadilan. Selain itu, proses ini membantu menghemat sumber daya negara, baik waktu maupun biaya.
Penghentian penuntutan semacam ini hanya dapat dilakukan jika semua pihak setuju dan ada bukti kuat bahwa pelaku tidak akan mengulang perbuatannya. Kejaksaan Agung menegaskan, keadilan restoratif tidak dapat diterapkan pada semua jenis perkara, terutama yang melibatkan kejahatan berat.
Dalam proses ini, peran jaksa fasilitator sangat penting untuk memastikan kesepakatan dilakukan secara adil dan sukarela. Mereka bertugas memfasilitasi komunikasi antara korban dan pelaku serta memastikan tidak ada paksaan dari pihak manapun.
Penyelesaian melalui keadilan restoratif juga memerlukan dukungan dari masyarakat. Tanpa penerimaan dari lingkungan sekitar, proses reintegrasi pelaku bisa terhambat. Oleh karena itu, Kejaksaan Agung terus melakukan sosialisasi agar publik memahami manfaat dari mekanisme ini.
Kejaksaan menegaskan bahwa penerapan keadilan restoratif tetap memperhatikan perlindungan terhadap korban, terutama dalam kasus yang melibatkan anak atau kekerasan dalam rumah tangga. Tujuannya agar tidak terjadi reviktimisasi.
Dengan disetujuinya dua perkara ini, Kejaksaan berharap mekanisme keadilan restoratif semakin dikenal luas dan dapat menjadi rujukan penyelesaian perkara yang lebih mengedepankan perdamaian.
Pada akhirnya, tujuan hukum bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan keadaan seperti semula, selama hal itu tidak mengurangi rasa keadilan. Kejaksaan Agung berkomitmen untuk terus mendorong penerapan keadilan restoratif pada perkara yang memenuhi syarat.
Masyarakat diharapkan dapat melihat mekanisme ini sebagai salah satu upaya positif untuk menjaga keharmonisan sosial. Dengan begitu, penegakan hukum dapat berjalan seiring dengan pembinaan dan pemulihan hubungan antarwarga.










