JAKARTA, EKOIN.CO – Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menjadi sorotan setelah laporan keuangan 2025 menunjukkan kerugian mencapai Rp1,62 triliun. Kerugian besar ini memaksa empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tergabung dalam konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menanggung renteng beban tersebut bersama-sama.
Gabung WA Channel EKOIN di sini
Proyek kereta cepat yang digadang-gadang sebagai lompatan besar transportasi Indonesia ini ternyata belum menghasilkan keuntungan. Meskipun telah beroperasi penuh, beban utang dan bunga pinjaman kepada pihak China masih membebani keuangan perusahaan.
Tanggung Renteng Kerugian Whoosh
Empat BUMN Indonesia yang terlibat adalah PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang juga menjadi pemimpin konsorsium. Mereka tergabung dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), yang memegang 60 persen saham KCIC.
Sementara itu, 40 persen saham sisanya dikuasai konsorsium China Railway. Kedua pihak membentuk KCIC dengan pendanaan mayoritas berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB), ditambah dana APBN dan modal patungan.
Utang tersebut membengkak seiring biaya pembangunan yang melonjak dari perkiraan awal. Proyek yang dimulai pada 2016 ini mengalami cost overrun sekitar 1,2 miliar dolar AS atau setara Rp18,02 triliun. Audit bersama Indonesia–China mencatat total biaya kini mencapai 7,27 miliar dolar AS atau sekitar Rp108,14 triliun.
Kerugian operasional yang terus berlanjut membuat seluruh pemegang saham KCIC harus menanggung pembayarannya. Termasuk bunga pinjaman yang nilainya tinggi, yang setiap tahun menjadi tantangan tersendiri.
Fakta dan Layanan Whoosh
Whoosh menghubungkan Jakarta dan Bandung sejauh 142,3 kilometer. Kereta berkecepatan hingga 350 km/jam ini dapat memangkas waktu perjalanan menjadi sekitar 45 menit. Nama “Whoosh” sendiri merupakan singkatan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat.
Rute layanan meliputi Stasiun Halim di Jakarta, Stasiun Padalarang, dan Stasiun Tegalluar di Bandung. Ada tiga kelas yang ditawarkan: Ekonomi Premium dengan tarif Rp150.000–Rp200.000, Bisnis sekitar Rp450.000, dan First Class sekitar Rp600.000.
Meski memberikan kenyamanan dan kecepatan, tingkat okupansi kereta belum sepenuhnya menutup biaya operasional. Hal inilah yang menjadi penyebab defisit berkelanjutan sejak awal operasinya.
Dalam upaya mengurangi beban, pemerintah dan BUMN tengah mempertimbangkan strategi baru. Di antaranya penyesuaian tarif, promosi masif, dan integrasi transportasi darat untuk memaksimalkan jumlah penumpang.
Kinerja keuangan Whoosh kini menjadi perhatian publik karena menyangkut dana negara dan masa depan transportasi cepat di Indonesia. Para pengamat menilai, keberhasilan jangka panjang bergantung pada efisiensi operasional dan strategi pemasaran yang tepat.
Jika pembiayaan utang tidak dikelola dengan baik, risiko beban terhadap APBN dan BUMN dapat semakin berat. Pemerintah diharapkan mampu menyeimbangkan antara ambisi modernisasi transportasi dan keberlanjutan finansial.
Kereta cepat Whoosh adalah inovasi besar dalam dunia transportasi Indonesia, tetapi menghadapi tantangan finansial serius. Beban utang dan kerugian yang ditanggung empat BUMN menjadi isu utama yang harus diselesaikan.
Perlu strategi promosi yang agresif, efisiensi operasional, dan restrukturisasi pembiayaan agar Whoosh bisa mencapai titik impas lebih cepat. Pengembangan layanan dan integrasi moda transportasi pendukung juga menjadi kunci keberhasilan. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










