Jakarta EKOIN.CO – Industri tekstil nasional kembali diguncang kabar mengejutkan. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat resmi memutuskan pailit PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT), emiten tekstil yang sebagian sahamnya dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keputusan ini diambil setelah proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan nomor perkara 3/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt. Pst berakhir tanpa kesepakatan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pengendali SBAT, Tan Heng Lok, membenarkan kondisi ini. Ia mengungkapkan perusahaan yang berlokasi di Bandung itu sudah tidak beroperasi sejak Juli 2024. “Dampak terhadap kegiatan operasional dan kelangsungan usaha perusahaan tidak terjadi pada saat putusan pailit dibicarakan, termasuk kelangsungan usaha perusahaan,” ujarnya dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Rabu (17/9/2025).
Pailit Tekstil dan Dampak Saham
Proses hukum yang menjerat SBAT sudah bergulir sejak akhir 2024. Perusahaan ini digugat PKPU oleh tiga pihak sekaligus, yaitu PT Hengsheng Plastic International, Lukman Dalton, dan PT Putratama Satya Bhakti. Gugatan tersebut menjadi awal perjalanan panjang yang akhirnya mengantarkan SBAT pada status pailit.
Pengadilan menunjuk Joko Dwi Atmoko sebagai hakim pengawas. Selain itu, tiga kurator juga telah ditunjuk, yakni Asri, Syafrullah Alamsyah, dan Irwandi Husni. Mereka diberi mandat untuk mengurus serta membereskan aset perusahaan demi melunasi kewajiban kepada para kreditur.
Dalam keterangannya, pengendali SBAT menyebut tantangan berat yang dihadapi industri tekstil membuat pemulihan tidak mudah. Kendati begitu, putusan pailit tetap menjadi pukulan telak, mengingat SBAT pernah menjadi salah satu pemain besar di sektor tekstil nasional.
BUMN Terimbas Pailit Tekstil
Yang menarik, dalam kasus pailit tekstil ini, terdapat nama besar BUMN yang ikut terdampak. PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) tercatat memiliki saham sebesar 13,996 persen atau setara 665,25 juta lembar saham di SBAT.
Selain INTI, Tan Heng Lok sendiri memegang 34,48 persen saham atau sekitar 1,63 miliar lembar saham. Sisanya lebih dari 50 persen saham tersebar di masyarakat, sehingga efek dari kebangkrutan ini turut menyentuh investor publik.
Dengan status pailit, nilai saham SBAT terancam anjlok, dan dampaknya bisa memengaruhi kepercayaan investor pada industri tekstil serta emiten lain yang berkaitan. Situasi ini menjadi sinyal serius bagi BUMN maupun pihak swasta yang menanamkan modal pada sektor tekstil.
Kondisi ini juga mengingatkan bahwa industri tekstil tengah menghadapi tekanan besar, mulai dari tingginya biaya produksi, gempuran produk impor, hingga lemahnya permintaan dalam negeri. Bagi para investor, keputusan pailit SBAT memberi pelajaran penting dalam mengelola risiko di sektor padat karya tersebut.
Kebangkrutan PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk menjadi cerminan rapuhnya industri tekstil nasional.
Putusan pailit juga memperlihatkan risiko yang harus dihadapi investor, termasuk BUMN seperti PT INTI.
Kasus ini sekaligus membuka mata pemerintah dan pemangku kepentingan untuk lebih serius memperkuat daya saing industri tekstil.
Perhatian pada regulasi, pasar domestik, dan pembiayaan perlu ditingkatkan agar kasus serupa tidak berulang.
Investor diharapkan lebih cermat dalam membaca situasi pasar tekstil yang rentan guncangan. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










