Jakarta, EKOIN.CO – Sidang kasus dugaan korupsi impor gula kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (26/9/2025). Agenda persidangan kali ini menghadirkan ahli hukum pidana Universitas Riau, Erdianto Effendi, Hotman Paris menanyakan kepada saksi untuk memberikan keterangan terkait status hukum terdakwa setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea, yang menjadi kuasa hukum terdakwa Tony Wijaya dari PT Angels Products, menyoroti keputusan tersebut. Menurut Hotman, abolisi yang diberikan Presiden Prabowo menimbulkan pertanyaan hukum terhadap posisi terdakwa lain yang hanya dianggap sebagai pihak “turut serta” dalam perkara tersebut.
Hotman mengajukan pertanyaan langsung kepada ahli hukum pidana Erdianto Effendi mengenai keberlakuan unsur perbuatan pidana terhadap terdakwa lain. Ia menekankan bahwa jika perbuatan pelaku utama telah dihapuskan, maka dasar hukum menjerat pihak yang disebut turut serta juga patut dipertanyakan.
BACA JUGA: Hotman Paris Minta Tom Lembong Jadi Saksi
“Pertanyaan saya, kalau unsur perbuatan melawan hukum dari pelaku utama yaitu Tom Lembong sudah ditiadakan, apakah turut serta masih bisa dipidanakan? Tanpa ada perbuatan Tom Lembong, tidak pernah ada perbuatan turut serta,” kata Hotman di ruang sidang.
Perdebatan Abolisi dan Implikasi Hukumnya
Menanggapi pertanyaan tersebut, Erdianto Effendi menjelaskan bahwa abolisi berbeda dengan amnesti. Menurutnya, abolisi yang diberikan Presiden bersifat terbatas hanya untuk Tom Lembong.
“Kalau amnesti itu memaafkan pelaku, sedangkan abolisi menghapuskan perbuatan. Tapi abolisi yang diberikan Presiden hanya berlaku untuk Tom Lembong. Itu masalahnya,” jelas Erdianto di hadapan majelis hakim.
Namun, pernyataan itu kembali diperdebatkan Hotman. Ia menilai, logika hukum pidana seharusnya berlaku sama bagi semua pihak. Jika pelaku utama perbuatannya dianggap tidak pernah ada, maka pihak lain yang hanya diduga turut serta pun seharusnya tidak dapat dipidana.
“Tidak mungkin ada turut serta karena mereka ini bukan pelaku utama. Kalau pelaku utama perbuatannya dianggap tidak pernah ada, maka turut serta pun harusnya ikut hilang. Anda setuju?” tegas Hotman.
Erdianto menanggapi bahwa secara teori memang demikian, namun praktik hukum menunjukkan adanya perbedaan penerapan. Ia menilai keputusan Presiden terkait abolisi dalam kasus Tom Lembong menyisakan persoalan hukum yang tidak sederhana.
“Secara teori memang begitu, tapi dalam kasus ini keputusan abolisi hanya menghapus penuntutan terhadap Tom Lembong, bukan terhadap pihak lain. Menurut saya, ada kekeliruan dalam keputusan Presiden tentang abolisi,” ujar Erdianto.
Tanggung Jawab Pidana Korporasi
Selain membahas abolisi, Erdianto juga memaparkan pandangannya terkait tanggung jawab pidana korporasi. Ia menegaskan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban jika memperoleh keuntungan dari tindak pidana atau jika perbuatan tersebut dilakukan dalam ruang lingkup kegiatan perusahaan.
“Bisa juga dianggap sebagai perbuatan korporasi apabila dilakukan sesuai ruang lingkup anggaran dasar atau rumah tangga perusahaan,” ungkapnya.
Persidangan ini menghadirkan lima terdakwa dari sejumlah perusahaan gula. Mereka adalah Tony Wijaya dari PT Angels Products, Then Surianto Eka Prasetyo dari PT Makassar Tene, Eka Sapanca dari PT Permata Dunia Sukses Utama, Hendrogiarto A. Tiwow dari PT Duta Sugar International, dan Hans Falita Hutama dari PT Berkah Manis Makmur.










