Jakarta, EKOIN.CO – Fenomena involuntary competition atau persaingan involusioner mulai menggejala di industri platform digital Indonesia, khususnya pada layanan transportasi dan pengantaran makanan. Persaingan harga ekstrem antara dua raksasa digital, Gojek dan Grab, dikhawatirkan memicu praktik predatory pricing yang merugikan pemain kecil.
Seperti dilaporkan AP News (4/7/2025), istilah ini awalnya populer di China untuk menggambarkan persaingan tak sehat di industri mobil listrik. Kini, pola serupa terlihat di Indonesia, di mana diskon besar-besaran dan subsidi modal asing mengancam kestabilan pasar.
“Kami khawatir persaingan harga seperti ini akan mematikan usaha kecil. Ini bukan lagi kompetisi sehat, tapi upaya mendominasi pasar,” ujar Ahmad Rizaldi, pengamat ekonomi digital dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Data Temasek-Google (2024) menunjukkan, nilai transaksi (gross merchandise value/GMV) ekosistem digital Indonesia mencapai US$90 miliar dan diproyeksikan melonjak menjadi US$360 miliar pada 2030. Namun, pertumbuhan ini berisiko terganggu jika price war terus berlanjut.
Praktik penetapan harga sangat rendah untuk mematikan pesaing melanggar Pasal 20 UU No. 5/1999 tentang Larangan Monopoli. “Predatory pricing jelas merusak ekosistem. KPPU harus tegas menindak pelanggar,” tegas Bima Haria, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Pemerintah China telah mengambil langkah serupa dengan membatasi diskon berlebihan di industri mobil listrik. Ekonom peraih Nobel, Jean Tirole, juga menyarankan intervensi regulator melalui penetapan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB).










