JAKARTA, EKOIN.CO – Sejumlah asosiasi pengemudi truk melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah mengenai penerapan aturan Zero Overdimension Overload (Zero ODOL) tanpa diimbangi dengan perlindungan bagi para pengemudi. Kebijakan tersebut dinilai bisa memicu lonjakan harga kebutuhan pokok karena meningkatnya biaya logistik.
Ancaman Kenaikan Harga Sembako karena Pembatasan Muatan
Farid Hidayat, pengurus Asosiasi Sopir Logistik Indonesia (ASLI), menyampaikan bahwa pembatasan muatan truk sesuai aturan Zero ODOL tanpa disertai regulasi tarif logistik akan berdampak langsung pada harga sembako. Ia mencontohkan pengiriman beras dari Banyuwangi ke Lombok yang hanya diberi ongkos kirim Rp500 ribu per ton.
Menurut Farid, pembatasan muatan maksimal menjadi 4 ton membuat sopir hanya menerima Rp2 juta per perjalanan, sementara biaya penyeberangan saja telah mencapai Rp2,15 juta. Belum termasuk biaya bahan bakar minyak dan pungutan liar yang kerap membebani sopir.
“Apakah masyarakat mau beli beras seharga Rp50 ribu per kilogram? Tidak mau. Artinya, kami terpaksa melakukan ODOL karena tidak punya pilihan,” ujar Farid dalam konferensi pers di Kantor DPP Konfederasi Sarbumusi, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
Ia mengungkapkan bahwa sopir truk biasanya mengangkut hingga 15 ton beras dalam sekali perjalanan dengan tarif Rp7,5 juta. Nominal itu cukup untuk menutup seluruh biaya operasional dan menjaga kestabilan harga beras di pasar.
“Kalau hanya membawa 4 ton, bagaimana kami bisa bertahan? Sementara itu pemerintah menyebut kami melakukan pelanggaran hukum,” tambahnya.
Sopir Minta Regulasi Tarif, Bukan Cuma Teguran
Ketua Umum Rumah Berdaya Pemeriksa Indonesia (RBPI), Ika Rostianti, menilai permasalahan ini muncul karena pemerintah menyerahkan tarif logistik kepada mekanisme pasar. Menurutnya, harus ada intervensi pemerintah dalam bentuk pengaturan tarif minimum per kilometer atau per jam kerja pengemudi.
“Kalau perlu upah sopir itu diatur pemerintah. Tapi kenyataannya, pemerintah tidak berani membuat batasan-batasan seperti itu,” ujar Ika.
Ia menekankan bahwa tanpa dukungan regulasi tarif, program Zero ODOL tidak akan bisa dijalankan secara adil oleh para sopir. Hal ini membuka celah terjadinya praktik ODOL kembali, karena para sopir harus mencari cara untuk menutupi kerugian operasional.
Sementara itu, Slamet Barokah, Ketua ASLI yang juga sopir truk, menyatakan bahwa dirinya sudah mematuhi aturan Zero ODOL sejak 2023. Ia hanya menerima pesanan yang sesuai dengan tonase yang ditentukan pemerintah.
Namun, akibat sikap patuh itu, Slamet mengaku dua bulan tidak mendapatkan pekerjaan. “Pokoknya saya mau menaati deklarasi Zero ODOL, tapi kenyataannya saya malah nganggur. Apakah negara hadir dalam persoalan kami? Tidak,” ucap Slamet.
Ia mengungkapkan rasa kecewa karena pemerintah kembali menggulirkan kampanye Zero ODOL di tahun ini, tanpa memperhatikan kondisi sopir truk di lapangan. Bahkan, kampanye tersebut dibarengi tudingan bahwa sopir tidak mematuhi aturan.
Sopir Truk Minta Solusi, Bukan Hanya Sanksi
Menurut Slamet, pemerintah semestinya lebih dulu mencari akar persoalan mengapa praktik ODOL masih terjadi, daripada langsung menerapkan sanksi tanpa solusi. Ia meminta Kepala Korps Lalu Lintas Polri untuk turun langsung mencari penyebab utama maraknya praktik ODOL.
“Bapak Kakor Lalu tolong cari penyebab kenapa kami ini ODOL. Jangan hanya menerapkan tanpa memberikan jalan keluar,” tegasnya.
Slamet merasa pemerintah bersikap sepihak dalam melihat masalah Zero ODOL. Ia menyebut pengemudi bukan tidak mau taat hukum, namun regulasi yang tidak mendukung membuat mereka terpaksa melanggar demi bertahan hidup.
Situasi ini juga diperparah dengan pungutan liar yang masih marak di jalur distribusi logistik. Hal tersebut menambah beban pengemudi yang sudah kesulitan menjalankan usahanya sesuai aturan.
Diberitakan CNN Indonesia pada Rabu (2/7), para sopir truk merencanakan konvoi menuju Ring I Jakarta sebagai bentuk protes atas kebijakan Zero ODOL yang dianggap tidak adil. Mereka menuntut perlindungan hukum dan kejelasan tarif angkut.
Sebagian besar sopir berharap agar pemerintah lebih berpihak pada kesejahteraan pelaku usaha logistik kecil, bukan hanya kepada korporasi besar. Tanpa dukungan nyata, mereka menganggap program Zero ODOL hanya akan menjadi beban baru.
Farid juga menegaskan bahwa para sopir bukan pelanggar hukum, melainkan korban dari sistem yang tidak berpihak. Ia berharap pemerintah tidak memposisikan sopir sebagai penyebab utama kerusakan jalan atau kecelakaan lalu lintas.
“Yang kami lakukan bukan kejahatan. Kami hanya bertahan hidup, karena negara belum hadir memberi perlindungan,” ujarnya.
Dalam situasi yang penuh tekanan ini, para pengemudi mendesak pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan Zero ODOL dan menyelaraskannya dengan realitas di lapangan. Mereka menilai pembenahan sistem logistik nasional harus melibatkan para pelaku langsung di lapangan.
Para sopir juga meminta pertemuan terbuka antara asosiasi pengemudi dan pemerintah agar kebijakan tidak dibuat secara sepihak. Mereka berharap ke depan, aturan logistik nasional berpihak pada keadilan sosial.
yang dapat diberikan untuk pemerintah adalah mempercepat pengesahan aturan tarif angkut minimum agar pelaku usaha kecil seperti sopir truk dapat menjalankan aturan tanpa menderita kerugian. Penetapan upah atau tarif berbasis kilometer dan jam kerja akan sangat membantu.
Selain itu, perlu dilakukan pengawasan ketat terhadap pungli yang menambah beban operasional sopir. Aparat penegak hukum diharapkan turun tangan secara langsung di titik-titik rawan untuk menertibkan praktik tersebut.
Kampanye Zero ODOL sebaiknya dibarengi dengan program perlindungan dan insentif bagi pengemudi yang patuh. Hal ini penting agar program tersebut diterima secara luas dan bukan menjadi beban baru.
Pemerintah juga disarankan menggandeng asosiasi pengemudi truk secara aktif dalam perumusan kebijakan transportasi logistik. Keterlibatan langsung pelaku lapangan akan memperkuat akurasi dan efektivitas kebijakan.
Akhirnya, stabilitas harga kebutuhan pokok sangat tergantung pada kebijakan distribusi yang adil dan efisien. Pemerintah harus menempatkan keseimbangan antara keselamatan, kelayakan usaha, dan kesejahteraan pengemudi sebagai prioritas utama.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v










