Phnom Penh EKOIN.CO – Kamboja mengandalkan taktik pertahanan darat untuk menghadang serangan dari Thailand dalam konflik terbaru di sepanjang perbatasan kedua negara. Meski tak memiliki armada jet tempur modern, Kamboja memaksimalkan penggunaan ranjau darat, jebakan di hutan, dan jaringan terowongan sebagai pertahanan utama.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Sebagaimana dilaporkan oleh Eurasian Times, strategi tersebut membuat pasukan Thailand kesulitan melakukan penetrasi ke wilayah yang dijaga pasukan Kamboja. Dalam bentrokan terbaru, tentara Thailand dikabarkan mengalami kerugian logistik karena serangan mendadak yang dilakukan Kamboja melalui lorong bawah tanah.
Tidak hanya itu, jebakan hutan yang disiapkan pasukan Kamboja juga menjadi tantangan berat bagi tentara Thailand. Setiap langkah di medan hutan menjadi berbahaya karena keberadaan ranjau darat dan alat jebakan tradisional yang dipasang secara tersembunyi.
Pertahanan Gerilya di Medan Hutan
Dalam perang perbatasan tersebut, medan hutan yang rapat menjadi arena utama pertempuran. Kamboja, yang tidak mengoperasikan jet tempur, justru memiliki keunggulan dalam menguasai jalur-jalur tersembunyi di wilayah tersebut.
Menurut laporan yang sama, sistem terowongan bawah tanah memungkinkan pergerakan senyap pasukan Kamboja. Mereka dapat melancarkan serangan tiba-tiba lalu menghilang sebelum pasukan Thailand sempat membalas.
Ranjau darat menjadi alat utama untuk memperlambat laju pasukan musuh. Dengan medan yang telah dipasangi jebakan secara sistematis, tentara Thailand harus bergerak sangat hati-hati dan lambat.
Efek psikologis juga menjadi bagian penting dari taktik ini. Ketakutan akan serangan mendadak dari dalam hutan memengaruhi moral pasukan Thailand yang terpaksa membatasi operasi militernya di wilayah tersebut.
Jet Tempur Tak Diperlukan
Ketidakhadiran jet tempur di pihak Kamboja membuat negara tersebut fokus memperkuat strategi pertahanan darat. Tanpa dominasi udara, Kamboja menempatkan pasukan elit di titik-titik strategis untuk melakukan operasi penyergapan.
Kehadiran terowongan dan jebakan memungkinkan perlawanan yang efektif tanpa harus mengandalkan kekuatan udara. Pasukan Kamboja dilatih khusus untuk bertahan dalam waktu lama di dalam hutan dengan persediaan logistik minimal.
Sementara itu, Thailand, yang memiliki keunggulan teknologi militer, justru kesulitan menyesuaikan diri dengan medan tempur yang tidak konvensional ini. Pesawat tempur Thailand tidak bisa beroperasi maksimal karena medan hutan yang terlalu rapat dan cuaca tropis yang kerap berubah.
Dengan demikian, bentrokan di perbatasan menjadi dominasi taktik darat. Serangan udara dianggap tidak efektif di area yang telah dipasangi banyak ranjau dan di mana pasukan lawan bersembunyi di bawah tanah.
Strategi Kamboja ini disebut sebagai bentuk pertahanan berbiaya rendah namun berdaya hasil tinggi. Dengan investasi minimal, negara tersebut mampu menahan laju militer negara tetangga yang secara teknologi lebih maju.
Hingga saat ini, tidak ada laporan resmi dari pemerintah kedua negara terkait jumlah korban atau kerusakan akibat bentrokan. Namun, beberapa sumber menyebutkan bahwa situasi tetap tegang di sepanjang garis perbatasan.
Sejumlah analis militer menilai bahwa pendekatan Kamboja ini dapat menjadi model pertahanan alternatif bagi negara-negara dengan keterbatasan anggaran militer. Fokus pada medan tempur lokal menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi lawan yang lebih kuat.
Meski belum ada pernyataan resmi, beberapa pejabat Kamboja dilaporkan menyatakan bahwa strategi ini akan terus dikembangkan. Perluasan jaringan terowongan dan peningkatan jumlah jebakan hutan tengah menjadi prioritas.
Thailand, di sisi lain, disebut tengah mengkaji ulang strategi militernya untuk mengantisipasi perang gerilya semacam ini. Pelatihan khusus bagi pasukan hutan menjadi wacana baru di kalangan militer Thailand.
Dengan situasi perbatasan yang masih belum stabil, kedua negara diharapkan dapat menghindari eskalasi lebih lanjut. Beberapa pengamat menyerukan dialog damai guna meredakan ketegangan yang berpotensi membesar.
dari peristiwa ini menunjukkan bahwa kekuatan militer tidak hanya bergantung pada teknologi tinggi, namun juga kemampuan beradaptasi dengan kondisi lokal. Kamboja berhasil menunjukkan bagaimana taktik sederhana dapat mengimbangi kekuatan musuh.
Strategi pertahanan darat Kamboja menjadi bukti bahwa kreativitas dan pemanfaatan medan dapat menjadi kekuatan utama dalam konflik bersenjata. Hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya pemahaman medan tempur.
Dengan menggunakan metode perang gerilya, Kamboja berhasil mempertahankan wilayahnya tanpa harus memiliki jet tempur. Keberhasilan ini bisa menjadi pelajaran penting bagi negara-negara berkembang lainnya.
Pertempuran ini juga menyoroti pentingnya persiapan jangka panjang dan kesiapan logistik. Tanpa perencanaan matang, operasi militer di medan sulit dapat menjadi bumerang.
Penting untuk dicatat bahwa konflik semacam ini membawa risiko besar bagi warga sipil di daerah perbatasan. Oleh karena itu, penyelesaian damai seharusnya tetap menjadi tujuan utama kedua negara.
Saran yang dapat diberikan adalah perlunya dialog diplomatik berkelanjutan antara Kamboja dan Thailand untuk mencegah eskalasi konflik yang lebih luas. Upaya damai harus melibatkan pihak ketiga netral jika diperlukan.
Selain itu, penguatan sistem peringatan dini dan komunikasi antar kedua negara dapat menghindari salah paham yang berujung pada konflik bersenjata.
Negara-negara di kawasan juga diharapkan mendorong stabilitas kawasan melalui forum regional agar ketegangan perbatasan dapat diredam secara kolektif.
Bagi masyarakat sipil di wilayah konflik, perlindungan dan bantuan kemanusiaan harus menjadi prioritas. Keberadaan ranjau dan jebakan juga harus diperhatikan karena membahayakan warga setempat.
Akhirnya, penyelesaian masalah perbatasan secara permanen perlu dikejar melalui perundingan formal agar tidak terjadi konflik berulang di masa depan. (*)










