Jakarta, EKOIN.CO – Anak muda dahulu identik dengan semangat perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Mereka adalah pahlawan yang secara harfiah mengangkat senjata untuk melindungi bangsa. Namun, dengan Indonesia yang telah merdeka selama 80 tahun, medan “perang” bagi generasi muda saat ini telah bergeser. Tantangan yang mereka hadapi bukanlah penjajah fisik, melainkan stres, ketidakpastian, dan kebutuhan untuk menemukan makna dalam hidup.
Generasi Z, yang diproyeksikan akan mendominasi 74% tenaga kerja global pada 2030, memiliki prioritas hidup yang berbeda dari generasi sebelumnya. Berdasarkan data dari Deloitte Global 2025 Gen Z and Millennial Survey, perbedaan cara pandang ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman. Generasi terdahulu kerap menganggap mereka malas atau kurang ambisius. Padahal, yang dicari oleh Generasi Z adalah kualitas hidup yang seimbang, bahagia, dan bebas.
Alih-alih berfokus pada pekerjaan semata, mereka mengejar keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work-life balance), dengan lebih banyak waktu luang untuk pengembangan diri dan hobi. Sebanyak 70% dari mereka bahkan rutin belajar keterampilan baru setiap minggu demi pengembangan karier. Selain itu, mereka sangat peduli pada kesehatan mental, serta terbuka untuk mencari bantuan profesional seperti psikolog di tengah tekanan sosial dan ekonomi.
Kekhawatiran finansial menjadi isu besar bagi mereka. Lebih dari separuh Generasi Z hidup dari gaji ke gaji, dan sepertiga dari mereka kesulitan memenuhi kebutuhan bulanan. Kondisi ini membuat mereka cenderung untuk mengambil pekerjaan sampingan (side job) demi menambah penghasilan atau sekadar mengasah keterampilan baru. Tidak mengherankan jika hampir sepertiga dari mereka berencana pindah pekerjaan dalam dua tahun ke depan. Di samping itu, 44% dari mereka bahkan pernah meninggalkan pekerjaan karena merasa tidak mendapatkan makna. Bagi Generasi Z, sering berpindah-pindah pekerjaan adalah strategi untuk menemukan stabilitas, keseimbangan hidup, dan tujuan.
Meskipun terbiasa dengan teknologi dan kecerdasan buatan (AI), yang memudahkan mereka dalam pekerjaan sehari-hari, hal ini juga membawa dampak. Sekitar 57% Gen Z telah mengadopsi AI, dan 30% dari mereka menggunakannya hampir sepanjang waktu. Meskipun teknologi ini memberikan kepraktisan, ada kekhawatiran bahwa mereka menjadi terbiasa dengan hasil instan dan kurang menghargai proses.
Terlepas dari tantangan pribadi tersebut, Generasi Z tetap aktif dalam berbagai perjuangan. Namun, medan “perang” mereka kini adalah advokasi sosial, seperti isu lingkungan, hak asasi, kesetaraan gender, dan perubahan iklim. Sebagaimana yang disampaikan dalam survey, dua pertiga dari mereka sangat peka terhadap isu lingkungan. Bahkan, 23% dari mereka menjadikan sikap perusahaan terhadap isu ini sebagai pertimbangan penting dalam memilih karier. Dengan demikian, meskipun perjuangan mereka tidak lagi melibatkan bambu runcing, semangat untuk menciptakan perubahan tetap membara dalam diri mereka, hanya saja dalam bentuk yang berbeda.










